Keira baru menyadari pentingnya arti seorang sahabat, justru ketika dia menjauh. Selama ini kehadiran Dimas dalam kesehariannya adalah hal yang terasa sangat wajar. Dimas selalu jadi orang pertama yang dia cari setiap kali masuk ke dalam kelas. Saat jam pelajaran kosong, Keira akan langsung menarik lengan Dimas dan mengajaknya ke kantin. Butuh tumpangan ke mana pun, Dimas pasti siap mengantar. Bisa dikatakan Dimas adalah orang yang selalu hadir dalam setiap hal yang Keira alami dalam hidupnya.
Lalu tiba-tiba saja Dimas menjauh. Keira tidak mengerti apa yang salah. Sejak hari audisi waktu itu, Dimas seperti menjaga jarak. Mungkinkah karena waktu itu Keira meninggalkan Dimas begitu saja dan memilih pulang dengan Leon?
Keira ingin bertanya tapi urung. Dia hampir tidak pernah memiliki kesempatan untuk mendekati Dimas. Cowok itu bahkan tidak lagi memberikan tumpangan kepada Keira. Selalu ada alasan untuk dia pulang dengan terburu-buru atau segudang kegiatan OSIS yang harus dia hadiri. Puncaknya ketika Keira akan meraih lengan Dimas – tindakan yang memang kerap kali Keira lakukan karena terbiasa – reaksi Dimas adalah menjauh.
Kemudian Dimas akan berpura-pura hal tersebut tidak terjadi. Seolah-olah penolakannya adalah hal yang wajar. Dimas telah menciptakan jarak di antara mereka.
Keira ingin curhat soal perubahan sikap Dimas ini kepada Gwen, tapi lagi-lagi urung. Setiap kali mereka bertiga, Dimas akan bersikap seperti biasa seolah memang tidak terjadi apa-apa.
Kegundahan Keira perlahan terlupakan dengan kehadiran Leon. Leon menghujani Keira dengan segala bentuk perhatiannya yang tidak biasa. Ditambah lagi Keira juga diterima dengan cukup baik di geng-nya Leon. Ternyata bergaul dengan mereka tidak seburuk yang dibayangkan.
Hari ini Leon mengajak Keira untuk dinner di salah satu kafe yang sedang kekinian di kawasan Kemang, Clique Kafe.
“Di sini tiap weekend suka ada live music lho, Kei,” ujar Leon ketika mereka baru saja tiba. Leon sengaja memilih tempat di sudut, dengan sofa besar yang nyaman dan masih memiliki akses yang cukup untuk melihat live music.
Keira manggut-manggut sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe. Perhatiannya teralihkan oleh pramusaji yang memberikan daftar menu. Keira masih asyik memilih makanan apa yang akan dipesan ketika dia tiba-tiba mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya. Spontan Keira mengangkat wajahnya dan melihat ke arah panggung. Seseorang yang menjadi sumber kegalauannya beberapa hari ini ada di sana, duduk di sebuah bangku kayu tinggi dan memetik gitar akustiknya. Untuk beberapa saat Keira merasa dunianya berhenti berputar.
***
“Gimana, Dim, udah siap?” Canti menemani Dimas beberapa saat sebelum manggung di ruang ganti.
Dimas mengangguk. “Lo nggak harus nemenin gue setiap kali gue manggung kali, Can. Gue jadi nggak enak.”
Dimas sudah beberapa kali manggung di Clique, kafe milik Om Herdi – adik almarhum mamanya Canti. Berkat bantuan Canti dan Om Herdi, Dimas bisa tampil di Clique setiap weekend dan tentu saja bayarannya dapat Dimas gunakan untuk membantu keuangan papa.
“Nggak apa-apa kali, Dim. Gue juga kan emang nggak ada kerjaan kalau weekend, daripada bosan di rumah mending sekalian main dan nonton lo di sini.”
“Ketahuan banget sih jomlonya,” gurau Dimas yang disambut Canti dengan tatapan kesal.
Dimas terkekeh pelan. “By the way, thanks ya, Can,” ujar Dimas di sela-sela tawanya. “Kalau bukan karena lo gue mungkin masih bingung mikirin soal masalah gue. Kasihan Papa, dia harus fokus sama penelitian tapi juga bingung mikirin soal keuangan. Dengan kerja part time kayak gini, setidaknya gue jadi bisa meringankan beban Papa.”
“Sama-sama, Dim. Gue cuma kebetulan jadi perantara aja. Sisanya memang lo berbakat dan Om Herdi suka.”