Seharian Keira mengurung diri di kamar. Setelah insiden di Clique kemarin, Canti menunggu Keira marah-marah dan mengeluarkan segala unek-uneknya tanpa titik koma seperti biasa, tetapi hal itu tidak terjadi.
Jauh di dalam hati kecilnya, Canti lebih menyukai Keira yang bawel, Keira yang selalu berani mengkonfrontasinya dengan kepercayaan diri yang mampu membuat siapa pun lawan bicaranya menjadi ciut. Daripada seperti sekarang, Keira terlalu diam, terlalu tenang sampai membuatnya khawatir.
Canti berusaha cuek, tetapi tetap saja pikirannya terus tertuju kepada kakak tirinya itu. Menjelang sore, dia akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Keira. Untung saja Keira akhirnya membukakan pintu. Jika tidak, mungkin Canti sudah nekad untuk mendobrak pintu kamarnya.
“Lo kenapa sih, Kei? Seharian nggak keluar kamar, gue panggil-panggil nggak nyahut, nggak makan,” cerocos Canti akhirnya setelah melihat wajah Keira. Tanpa diminta, Canti langsung inisiatif menerobos masuk. Dalam pikirannya mungkin Keira terlalu depresi sampai berbuat yang aneh-aneh.
Matanya menjelajah seisi kamar tapi ternyata tidak ada yang istimewa. Hanya tempat tidurnya yang agak berantakan, tanda Keira memang seharian berada di atasnya. Canti juga menemukan tisu berserakan di lantai dan juga di atas ranjangnya. Tisu dan mata sembab Keira menunjukkan bahwa cewek itu memang menangis cukup lama.
“Lo sesedih itu, ya?” tanya Canti khawatir.
Keira melirik Canti sekilas dan tidak menjawab. Dia hanya melangkah masuk dan kembali duduk di atas tempat tidur.
“Kei, lo tuh kalau ada masalah cerita. Kalau kesal sama gue, ya marah-marah. Jangan mendiamkan gue kayak gini dong,” ujar Canti lagi gemas.
“Lo senang kan lihat gue kayak gini?”
Canti menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, gemas melihat kelakuan Keira yang sekarang tampak menyedihkan. Rasanya apa pun yang Canti lakukan selalu salah di mata Keira. Dia memang tidak pernah akur dengan kakak tirinya ini, tapi bukan berarti Canti benar-benar membencinya. Apa yang Canti katakan kemarin pun hanya luapan emosinya karena Keira yang dinilainya terlalu egois.
“Lo kenapa sih selalu negative thinking sama gue?” Canti bertanya sungguh-sungguh. “Apa gue nggak boleh khawatir? Mama-Papi lagi nggak ada, terus seharian lo nggak keluar kamar, gue beneran khawatir lo kenapa-kenapa, Kei.”
Keira tersenyum sinis. “Lo pikir hanya karena gue berantem sama Dimas gue bakalan langsung depresi terus bunuh diri, gitu?”
Mendengar Keira masih bisa galak seperti itu, Canti sedikit lega. Namun, sorot matanya tidak bisa berbohong. Ada kesedihan di sana yang berusaha mati-matian dia tutupi.
“Kei, mungkin lo marah sama Dimas karena dia nggak jujur,” sambung Canti lagi. “Tapi daripada lo terus bertanya-tanya sendiri, sedih sendiri seperti ini, lebih baik lo tanya alasan dia kenapa merahasiakan ini semua dari lo.”
“Masalah gue dan Dimas nggak ada urusannya sama lo,” jawab Keira datar.
“Ada,” sahut Canti tegas. “Karena Dimas juga teman gue dan gue yakin sekarang dia sama sedihnya kayak lo.”
Keira mengangkat kepalanya dan menatap Canti. “Iya deh yang sekarang udah dekat banget sama Dimas.”
Canti tahu perkataan Keira barusan ditujukan untuk menyindirnya. Alih-alih melanjutkan sindirannya, gadis itu memilih diam dan menundukkan kepalanya seperti memikirkan sesuatu.
“Memangnya lo rela kalau gue dekat sama Dimas? Lo nggak apa-apa kalau gue dan Dimas–”
Canti menunggu reaksi Keira tetapi cewek itu hanya bangkit dari duduknya dan mendorong Canti pelan, mengusirnya secara halus. “Terserah deh. Lo mending keluar Can, gue capek, mau tidur.”
Dengan terpaksa Canti melangkah keluar. Dia masih belum puas karena Keira tidak menjawab apa-apa. Tiba-tiba dia menjadi begitu ingin tahu perasaan Keira ke Dimas.
Kenapa gue jadi kelewat peduli gini sih sama Keira?
***
“Memangnya lo rela kalau gue deket sama Dimas? Lo nggak apa-apa kalau gue dan Dimas—”
Pertanyaan Canti semalam terus terngiang-ngiang di benak Keira. Benarkan dia akan baik-baik saja jika Dimas bersama Canti? Benarkah dia rela melepaskan Dimas untuk Canti?
Keira menggelengkan kepalanya kuat-kuat berusaha mengenyahkan segala bayangan Dimas dan Canti di pikirannya. Lagipula kenapa juga dia harus nggak rela? Dia tidak punya alasan apa pun untuk menahan Dimas karena Dimas memang bukan miliknya. Dimas itu hanya sahabat dan Keira tidak berhak melarangnya untuk dekat dengan siapa pun. Hal itu terus Keira camkan dalam hatinya.
Namun, melihat Dimas dengan cara yang sama sekarang rasanya menjadi begitu sulit. Keira memilih untuk terus menghindar. Di sekolah dia menghabiskan jam-jam istirahatnya di kelas atau menghilang ke perpustakaan. Sebisa mungkin Keira juga tidak menghabiskan waktu berdua dengan Dimas.
Kalau sebelumnya Dimas yang selalu pulang sekolah dengan terburu-buru, giliran Keira sekarang yang kabur lebih dulu. Tepat ketika bel pelajaran terakhir berbunyi, bahkan ketika guru saja belum meninggalkan kelas, Keira langsung berjalan ke luar. Keira menutup setiap kesempatan untuk Dimas menghampirinya.