“Nanti pulang sekolah aja langsung dikerjain. Gue sorenya masih harus lanjut ngelesin.” Dimas dan Gwen menunggu bel tanda jam istirahat selesai di lorong dekat kelas mereka sambil membahas tugas kelompok sejarah.
Bu Rasti, guru sejarah di kelas mereka memberikan tugas kelompok untuk membuat makalah sejarah yang isinya tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia di bidang pendidikan. Selain makalah mereka juga harus membuat majalah dinding untuk presentasinya sekreatif mungkin.
Gwen merasa Bu Rasti lebih cocok menjadi guru seni daripada sejarah karena pasti selalu menyelipkan sisi kreatifitas dalam setiap tugasnya. Cara ini dinilai ampuh karena ternyata lebih gampang menghafal peristiwa sejarah setelah dituangkan ke dalam bentuk gambar yang menarik daripada hanya membacanya dari text book langsung.
Nilai minusnya, buat Gwen yang merasa kurang kreatif, membuat majalah dinding berwarna-warni seperti itu jelas membutuhkan usaha ekstra. Apalagi dia hanya sekelompok berdua dengan Dimas yang juga kurang jago membuat prakarya. Jika sudah seperti ini, Gwen jadi kangen Keira.
Bu Rasti memerintahkan masing-masing kelompok beranggotakan tiga orang. Biasanya secara otomatis Gwen, Dimas, dan Keira akan langsung menjadi satu kelompok. Namun, tiba-tiba Keira malah bergabung dengan kelompoknya Rani dan Tasya. Berhubung jumlah murid di kelas meraka ganjil, maka hanya tersisalah Dimas dan Gwen di kelompok terakhir.
“Lo sibuk banget, Dim. Pulang sekolah masih harus ngelesin, belum manggung di Clique, terus kegiatan OSIS juga. Nggak capek apa?”
“Nggak lah, lama-lama juga biasa,” jawab Dimas. “Asal gue pintar-pintar ngatur waktu aja.”
“Coba ada Keira, nih. Tugas-tugas bikin mading kayak gini, kan dia jagonya,” sambung Gwen lagi. “Lo kenapa, sih sama Keira? Nggak biasanya kalian diem-dieman lama kayak gini. Sampai pas pembagian kelompok dia bisa-bisanya gabung sama yang lain.”
“Sorry ya, Gwen, lo jadi kebawa-bawa.” Dimas tersenyum tipis. “Keira lagi marah aja sama gue, mudah-mudahan marahnya nggak lama.”
Gwen mengembuskan napas dengan keras. Dia enggan berkomentar lebih jauh. Melihat kedua sahabatnya ini bersikap dingin membuat hatinya terasa tidak nyaman. Namun, dia merasa tidak bisa berbuat banyak. Keira lebih banyak menghindar jika ditanya soal Dimas.
“Balik ke kelas aja, yuk. Bagi tugasnya sekalian lihat buku cetak biar jelas.”
Dimas mengikuti Gwen berjalan kembali ke kelas. Langkah mereka terhenti tidak jauh dari depan pintu kelas ketika dilihatnya ada Leon dan Keira yang sepertinya tengah terlibat pembicaraan seru. Keira berdiri sambil bersandar ke pintu sementara Leon berdiri di depannya dengan jarak yang cukup dekat dan sangat akrab.
Tanpa sadar Dimas berdiri kaku dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia penasaran dengan pembicaraan mereka tetapi dari tempatnya berdiri dia tidak bisa mendengar apa-apa. Sampai kemudian bel tanda masuk kelas berbunyi.
“Bye, Kei, jangan lupa nanti malam gue jemput jam sembilan, ya.” Leon melambaikan tangannya sambil berlalu meninggalkan Keira dan dibalas senyuman manis oleh Keira. Hanya itu yang bisa Gwen dan Dimas dengar karena Leon memang setengah berteriak.
“Mau ke mana mereka jam sembilan malam?” tanya Gwen kepada Dimas penasaran.
Dimas hanya mengangkat bahu. Dia berusaha acuh, tetapi tetap saja pikirannya tidak tenang. Kini dia mendadak iri kepada Gwen yang bisa dengan bebas langsung menginterogasi Keira tanpa harus merasa canggung.
“Kei, tunggu!” panggil Gwen sambil mempercepat langkahnya mendekati Keira. “Lo mau ke mana sama Kak Leon?”
“Diajak ke sixties sama Kak Leon,” jawab Keira datar seolah tidak ada yang istimewa dengan ucapannya.
“Clubbing?” Gwen cukup kaget ketika Keira menyebutkan nama klub yang saat ini sedang hit di kalangan anak-anak Devasca. “Sejak kapan lo suka clubbing?”
Gwen merasa terlalu banyak perubahan yang terjadi pada sahabatnya ini. Keira bukanlah orang yang suka pergi ke club. Diajak Cilla dan Nanda pun dia selalu menolak karena menurutnya tempat itu hanya cocok untuk orang dewasa. Seingatnya Keira lebih suka menari di studio latihan ketimbang di lantai dansa sebuah club.
“Mau bukan berarti suka, kan?” Keira melangkah masuk ke kelas sambil terus diikuti Gwen. “Gue nggak enak nolak terus. Ya udah gue pikir sesekali mencoba tempat bergaulnya Kak Leon nggak apa-apa lah.”
Gwen hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia merasa semakin tidak mengenali Keira. Sementara itu, Dimas yang sejak tadi hanya diam dan menyimak, tidak sekali pun bisa melepaskan pandangannya dari sahabatnya itu.
***
Malam ini terasa begitu panjang dan sesak bagi Keira. Sesuai janji, dia menerima ajakan Leon untuk clubbing di sixties. Di sana sudah ada geng-nya Leon yang Keira kenal dan beberapa teman Leon lainnya yang baru pertama kali Keira lihat. Dari gaya dan penampilannya, usia mereka sepertinya jauh di atas Keira.