Keira butuh usaha ekstra untuk membuat matanya tetap terjaga selama jam pelajaran di kelas. Setelah semalam clubbing bersama Leon, Keira benar-benar lupa dengan apa yang terjadi. Tahu-tahu dia sudah terkapar di atas ranjangnya dan terbangun karena ketukan atau lebih tepatnya gedoran Canti disertai teriakan yang memaksanya untuk bangun.
Belum cukup sampai di situ, Canti bahkan mengancam akan lapor sama mama dan papi kalau semalam dia pergi clubbing.
Alhasil sekarang dia sudah seperti zombie di kelas, sama sekali tidak bisa konsentrasi. Bu Fani bahkan menegurnya berkali-kali karena dia nyaris ketiduran selama pelajaran.
Mengikuti ritme pergaulan Leon mulai membuat Keira kewalahan. Bukan hanya sekali Leon menjemputnya tengah malam dan baru pulang subuh hanya untuk jalan-jalan atau menikmati dunia malam Jakarta. Sementara esoknya, Keira tetap harus bersekolah seperti biasa. Kadang pulang sekolah pun Leon suka mengajaknya nongkrong bareng teman-teman satu gengnya.
Keira mulai sering absen latihan cheers dan tanpa sadar nilai-nilainya pun mulai menurun. Hal ini juga yang membuat mama semakin keras kepadanya. Selalu ada alasan untuk mama memarahinya dan yang paling bikin Keira tidak terima karena papi tirinya juga mulai ikut-ikutan menasehatinya. Hal ini justru membuat Keira semakin ingin memberontak. Lagi-lagi bersenang-senang dengan Leon menjadi semacam pelarian yang menyenangkan.
Hebatnya, baterai Leon seolah tidak pernah habis. Dia selalu punya persediaan energi untuk melakukan apa pun. Ditambah lagi Leon tidak pernah terlalu peduli dengan nilai-nilai pelajarannya karena setelah lulus SMA pun, ayahnya pasti sudah mengatur ke mana dia harus melanjutkan kuliah.
Perubahan sikap Keira ini mulai membuat Gwen gusar. Apalagi setelah jam istirahat kedua, Keira tidak muncul di kelas dan bolos ke UKS.
“Kei, lo sakit?” tanya Gwen sambil memegang kening Keira yang sedang tidur-tiduran di ruang UKS.
Keira membalikkan badannya. “Lo kok ada di sini? Emang nggak ada guru?”
“Gue tadi izin sama Pak Theo. Gue bilang lo sakit dan mau ngecek keadaan lo,” jelas Gwen. “Tapi badan lo nggak panas. Lo sakit apa sih?”
“Gue cuma lemas aja.” Keira menggerakkan badannya untuk duduk di tempat tidur. “Mau flu juga sih kayaknya.”
“Iyalah lemes,” sahut Gwen. “Semalam mabok berat gitu.”
“Kok lo tahu, sih?” tanya Keira bingung.
“Canti yang bilang.” Hampir saja Gwen keceplosan. Gwen berulang kali menahan diri untuk tidak mengomeli Keira atas kecerobohannya semalam karena ingat janjinya kepada Dimas.
“Dasar Canti ember,” gerutu Keira sama sekali tidak curiga dengan jawaban Gwen barusan.
“Memangnya lo nggak ingat gimana caranya lo bisa pulang semalam?”
Keira menggeleng. “Sama Kak Leon, kan?”
Gwen hampir saja membuka mulut dan menyanggah perkataan Keira barusan, tetapi dia mengurungkan kembali niatnya dan memilih mengubah topik pembicaraan.
“Ini nggak kayak lo yang biasanya, Kei,” ujar Gwen lagi tampak cemas. “Lo nyadar nggak sih, gara-gara sering pergi sama Kak Leon, lo jadi sering bolos latihan cheers. Belum lagi lo jadi sering main-main sampai nggak sempet belajar, kan? Gue perhatikan nilai-nilai lo mulai turun, Kei.”
“Duh, lo udah mulai bawel kayak nyokap gue deh.”