Tiramisu Cake

Mita Vacariani
Chapter #15

Pedih

Keira berhenti tepat di depan pagar rumah Dimas. Dia cukup terkejut ketika menyadari langkah kakinya justru membawanya ke depan rumah sahabatnya itu. Sepulangnya dari studio latihan Keira malah naik angkutan umum yang mengarah ke rumah Dimas.

Setiap kali Keira merasa sedih, pasti Dimas-lah orang pertama yang akan dia hubungi. Keira lupa kalau sudah cukup lama dia bahkan tidak berbicara dengan Dimas. Hati kecilnya sekarang sangat merindukan sahabatnya itu.

Gue ngapain sih di sini? Bahkan alam bawah sadar gue sekarang terus mengarah sama lo, Dim.

Keira baru saja akan melangkah pulang ketika dia mendengar seseorang memanggil namanya dari dalam rumah. “Kak Keira!”

Keira melambaikan tangan sambil tersenyum. “Hei, Diandra.”

Diandra berjalan dan membukakan pintu pagar untuk Keira. “Kok malah bengong depan pintu, Kak? Ayo masuk dulu. Mau ketemu Kak Dimas, ya?”

Keira bimbang. Jika dia bilang mau bertemu dengan Dimas, lantas apa yang harus diucapkannya ketika berhadapan dengan cowok itu. Belum sempat Keira menjawab, Diandra sudah bicara lagi, “Tapi Kak Dimasnya belum pulang, Kak.”

Keira tertarik dengan perkataan Diandra. “Belum pulang? Memang Dimas ke mana?”

Sepengetahuan Keira hari ini tidak ada kegiatan OSIS. Tadi setelah bel pelajaran terakhir Dimas juga buru-buru keluar kelas.

“Hari ini kan jadwal Kak Dimas ngajar. Biasanya baru malam sampai rumah.”

“Ngajar?” tanya Keira bingung. Mengajar apa? Keira jadi merasa bodoh di depan Diandra karena tidak tahu apa-apa.

“Lho, Kak Keira nggak tahu?”

Keira hanya menggeleng pelan. Dia memang tidak tahu apa-apa lagi tentang Dimas. Dan sebagai sahabat, hal itu membuatnya merasa malu.

“Masuk dulu yuk, Kak.” Diandra menarik tangan Keira spontan. “Ngobrolnya di dalem aja, masa depan pagar kayak gini, sih.”

Keira terpaksa menuruti ajakan Diandra. Mereka pun memilih untuk duduk di bangku teras depan rumah.  

“Kak Dimas sekarang punya beberapa murid les. Jadi seminggu dua kali dia ngelesin mereka,” ujar Diandra. “Kak Dimas sekarang sibuk banget deh, pulangnya selalu sore atau malam. Kalau weekend pasti manggung di Clique. Aku kangen deh sama Kakak.”

Gue juga kangen sama lo, Dim.

“Sabar ya, Di,” hibur Keira. “Aku juga udah lama nggak ngobrol sama Dimas. Paling ketemu cuma di sekolah aja.”

“Coba aja aku nggak sakit, aku mungkin bisa bantu Kak Dimas untuk cari uang,” sambung Diandra lagi. Matanya melihat ke atas seolah sedang memikirkan sesuatu. “Aku cuma bisa jadi beban Papa sama Kakak aja.”

Keira meremas tangan Diandra pelan. Hatinya tersentuh mendengar perkataan Diandra. Adik Dimas ini masih duduk di bangku SMP tapi sudah berpikiran seperti itu. “Hei, kamu kok gitu mikirnya? Dimas sama Papa kamu nanti sedih, lho kalau dengar kamu bicara seperti ini.”

Diandra menerawang lagi. “Yah habis sekarang Papa lagi ada kesulitan keuangan gini tapi aku nggak bisa bantu apa-apa. Cuma Kak Dimas yang sibuk sana-sini.”

Keira tidak mampu menyembunyikan kekagetannya. Keluarga Dimas ada masalah keuangan? Inikah sebabnya Dimas begitu cepat menghilang setiap pulang sekolah? Inikah alasannya Dimas kerja part time di Clique?

Kemudian mengalirlah cerita dari mulut Diandra mengenai proyek penelitian Papanya yang tersendat sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar. Sejak saat itu Dimas memutuskan untuk kerja part time agar keuangan keluarganya tetap stabil.

“Tapi sesibuk apa pun Kak Dimas, dia masih sempat nemenin aku belajar sesekali, Kak.” Keira bisa menangkap rasa bangga dan sayang Diandra terhadap Kakak satu-satunya itu. “Yah, Kakak tahu sendiri kan, setiap hari home schooling sendirian ngebosenin juga.”

Keira tersenyum mengerti. Dulu, dia sering menghabiskan waktu di rumah ini. Bahkan kalau Dimas tidak ada, dia akan tetap datang hanya untuk bermain dengan Diandra atau menikmati masakan Mamanya Dimas.

Lihat selengkapnya