Dimas merapatkan resleting jaketnya untuk menghalau udara dingin yang dirasakan. Jam di tangannya masih menunjukkan pukul enam pagi dan Dimas sudah berada di stasiun Gambir yang sepertinya tidak pernah terlelap ini.
Rasa sakit di badannya akibat perkelahian dengan Leon kemarin belum juga hilang tetapi Dimas harus memaksakan dirinya untuk menyusul Keira yang ternyata ada di Bandung. Di kediaman papa kandungnya.
Berita ini Dimas dapatkan dari Canti, tepat setelah dia mendatangai Leon dengan tidak baik-baik. Om Teddy—papa kandung Keira yang menghubungi Tante Wilma dan mengatakan kalau Keira baik-baik saja dan sekarang ada bersamanya.
Kalau saja Dimas bisa menebak lebih awal tentang keberadaan Keira dan tidak tersulut emosi ketika mendatangi Leon, mungkin pertengkaran itu bisa dihindari. Untung saja tidak ada luka yang serius. Setidaknya sekarang tubuhnya masih cukup memiliki energi untuk menempuh perjalanan beberapa jam menuju Bandung.
Kemarin, Dimas berhasil menemui Leon di bengkelnya Jemmy. Di sana juga ada Andre, Chris, dan Johan. Melihat mereka yang sedang berkumpul dan tertawa-tawa seolah tidak ada peristiwa penting yang terjadi, cukup membuat Dimas berang. Dia memarkirkan motornya sembarangan dan tidak sabar menghampiri Leon.
“Di mana Keira?” Tanya Dimas kepada Leon tanpa basa-basi.
Kedatangan Dimas yang tiba-tiba membuat keriuhan di tempat itu hening seketika. Semua memandang ke arah Dimas.
“Ada apa, nih, lo tiba-tiba masuk tempat orang seenaknya kayak gini.” Jemmy bangkit dari duduknya dan langsung menghadang Dimas.
“Gue nggak ada urusan sama lo,” tukas Dimas. “Gue tanya sama Leon, lo umpetin di mana Keira?”
Mendengar namanya disebut, Leon pun berjalan mendekati Dimas. Dibuangnya rokok yang sedang dihirupnya dan diinjaknya kasar. “Ini ada ketua OSIS nyasar, ya?” Leon tersenyum sinis. “Tiba-tiba datang cari ribut.”
“Gue tanya sekali lagi,” Dimas mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah Leon. “Di mana Keira sekarang?”
Leon mulai kesal dengan tuduhan Dimas yang tidak beralasan. “Lo kenapa tiba-tiba cari Keira di sini? Lo cari di rumahnya-lah, lo pikir gue bapaknya yang ngurusin dia ada di mana.”
“Udah deh, Yon, nggak usah banyak alasan. Keira nggak ada di rumahnya dari semalam dan gue yakin lo tahu dia ada di mana.”
“Lo kenapa bisa ngomong kayak gitu?” Leon ikut terpancing. “Dia bisa ada di mana aja, kenapa lo nuduh gue?”
“Sekarang ini lo cowok yang paling dekat sama dia, jadi mending lo nggak usah ngeles lagi pura-pura nggak tahu Keira ada di mana.”
“Terus lo sendiri apa? Elo itu cowok yang suka sama Keira tapi ngaku-ngaku sebagai sahabat supaya bisa ada terus di dekat dia. Jelas harusnya lo lebih tahu dia ada di mana.”
Dimas tersentak mendengar perkataan Leon. Kemudian Leon melanjutkan ucapannya. “Munafik lo, Dim. Gue memang suka sama Keira, tapi setidaknya gue berani jujur deketin dia, nggak kayak lo yang cuma bisa sembunyi di balik status sahabat.”
Dimas mengepalkan tangannya menahan geram. Melihat Dimas mulai terpancing, Leon berjalan mendekati Dimas dan semakin mengintimidasi. Sudah lama dia ingin mengungkapkan kekesalannya kepada cowok yang dianggap penghalang hubungannya dengan Keira.