Tiramisu Cake

Mita Vacariani
Chapter #18

More Than Friend

Keira membuka mata dan mengerjapkannya beberapa kali. Kepalanya masih terasa sedikit pusing tetapi sudah tidak seberat sebelumnya. Dia pun memegang lehernya dengan punggung tangan dan merasa badannya sudah tidak demam. Badannya sudah terasa lebih ringan dan mulai gerah, tanda suhu tubuhnya yang mulai turun.

Keira berbalik mengubah posisi badannya. Ketika itulah dia sadar kalau dia tidak sendirian. Ada orang lain di kamarnya yang saat ini sedang memperhatikannya. Keira mendongak dan terkejut.

“Dimas!”

Spontan Keira bangun dan dengan terhuyung mencoba turun dari tempat tidur. Dengan sigap Dimas menahan Keira. “Jangan bangun dulu, Kei.”

Keira mengurungkan niatnya dan kembali menaikkan kakinya ke atas tempat tidur. Dia masih bengong menatap Dimas. Sejak kapan Dimas ada di kamarnya? Dan ini kan di Bandung, dari mana Dimas tahu kalau dia ada di sini?

Sudah dua hari ini rutinitas Keira hanya tidur – makan – minum obat – ke kamar mandi – terus tidur lagi. Dia bahkan merasa sudah seperti beruang yang sedang hibernasi karena terus tidur seharian. Sejak sampai di Bandung entah kenapa badannya langsung drop.

Andaikan saja demam bisa membuatnya mendadak amnesia, tapi sayangnya tidak. Keira masih ingat setiap detail kejadian yang membawanya ke rumah papa. Dia merasa luar biasa upset sehingga nekat untuk menyusul papa ke Bandung. Bahkan dia tidak pamitan kepada siapa pun dan pergi meninggalkan rumah begitu saja. Mungkin sekarang yang dia lakukan sudah masuk kategori kabur dari rumah.

Keira tahu mama pasti khawatir tetapi dia juga lupa memberi kabar. Jangankan memberi kabar, bahkan untuk menyalakan ponselnya saja Keira tidak ingat. Mungkin jangan-jangan karena alasan itu, mama sampai mengirim Dimas ke sini.

“Gimana keadaan lo?” tanya Dimas sambil mengulurkan tangannya dan memegang dahi Keira. “Om Teddy bilang udah dua hari ini lo demam tinggi.”

Keira hanya diam dan menatap Dimas. “Tapi kayaknya badan lo udah nggak panas. Jangan maksain bangun dulu kalau belum kuat. Om Teddy lagi ke luar sebentar beli makan.”

Melihat Keira yang masih juga bengong dan tidak lepas memandangi Dimas, spontan Dimas tersenyum. “Mau sampai kapan ngelihatin gue terus kayak gitu?”

“Lo kenapa bisa ada di sini?” Keira berkata pelan dan tanpa sadar tangannya terulur menyentuh pipi Dimas. “Ini kenapa? Lo berantem?”

Dimas balas memegang tangan Keira, menjauhkannya dari pipinya dan menggenggamnya hangat. “Gapapa, biasalah masalah cowok.”

Keira mengernyit bingung dan tidak puas dengan jawaban Dimas. “Tapi lo baik-baik aja, kan? Nggak biasanya lo berantem sama orang. Masalah apa sih?”

Dimas senang Keira sudah perhatian lagi kepadanya. “Never been better. Udah lo tenang aja, bukan masalah besar juga.”

“Gimana bisa tenang, lo tiba-tiba nongol di kamar gue dengan muka biru-biru kayak habis digebukin orang sekampung gitu.”

Dimas tersenyum simpul. “Kalau udah bisa marah-marah kayak gini berarti gue udah bisa tenang sih, artinya lo udah sembuh. Gue beneran nggak kenapa-kenapa, Kei.”

“Dan lo masih belum mau cerita kenapa lo ada di sini?”

“Sabar, Kei, kita masih punya banyak waktu buat ngobrol.” Ditatapnya Keira tepat di manik matanya. “Gue ke sini untuk jemput lo pulang dan juga karena gue punya banyak pertanyaan buat lo.”

Wajah Dimas sekarang berjarak sangat dekat dengannya sampai-sampai membuat Keira tanpa sadar menahan napas. Sekarang yang Keira butuhkan adalah escape plan, menjauhkan diri sejauh mungkin dari Dimas sebelum dia menyadari detak jantungnya yang tidak karuan dan pipinya yang memerah. Dan escape plan Keira saat ini adalah bergegas menuju kamar mandi.

***

Lihat selengkapnya