Keira tidak bisa tidur. Mungkin karena teringat obrolannya dengan Dimas siang tadi atau mungkin juga karena dirinya banyak istirahat seharian sehingga membuat matanya sulit terpejam.
Akhirnya Keira memutuskan untuk ke luar kamar dan menonton televisi sebentar yang mungkin akan membuatnya mengantuk. Ketika itulah dia menemukan papa masih berkutat dengan laptopnya di ruang makan.
“Papa, belum tidur?” sapa Keira sambil menarik kursi di sebelah papa.
“Lho, kamu kok bangun, Kei?” Papa merapikan kertas-kertas di meja yang berserakan dan melihat ke arah Keira.
“Nggak bisa tidur, Pah. Seharian udah kebanyakan tidur kayaknya.”
“Gimana keadaan kamu? Udah enakan badannya?”
“Udah, Pah,” jawab Keira kemudian tertarik melihat apa yang sedang papa kerjakan. “Papa lagi ngapain, sih?”
“Oh, ini lagi siapin materi untuk bahan ngajar besok sama sekalian buat konsep untuk pameran seni akhir tahun.”
“Papa udah mau bikin pameran seni?” Keira bertanya takjub.
“Barengan sama teman-teman Papa. Mereka seniman-seniman terkenal sekaligus juga mentor Papa selama ini. Ya kamu doain aja, Kei, supaya ini jadi awal yang bagus untuk karier Papa sebagai seniman.”
Keira menatap papa bangga. “Are you happy, Pah?” Entah kenapa Keira merasa perlu menanyakan hal ini.
Papa tersenyum dan menatap lembut putrinya. “Tentu, sayang. Dan Papa pasti makin bahagia kalau melihat kamu juga bahagia.”
“Aku mau tinggal di sini aja sama Papa.” Suara Keira terdengar melirih.
Papa memutar kursinya sehingga posisinya kini menghadap Keira. “Kei, kamu ingat nggak waktu kamu umur sepuluh tahun, kamu pernah kena cacar air?”
Keira mengangkat alisnya dan mencoba menangkap arah pembicaraan papa.
“Waktu itu kamu cuma mau dibedakin sama Mama. Makan dan minum obat pun maunya sama Mama.”
Keira hanya diam dan terus mendengarkan. “Karena Mama masih kerja waktu itu, jadi Mama bela-belain pulang kantor setiap jam istirahat untuk cek keadaan kamu. Terus Mama akan balik lagi ke kantor yang jaraknya satu jam perjalanan naik bis. Untung bos Mama waktu itu cukup pengertian jadi memberi izin Mama kamu pulang pergi untuk ngurusin kamu yang lagi sakit.”
Keira tidak ingat kalau Mama pernah melakukan hal itu. Kemudian Papa melanjutkan ceritanya. “Dan malamnya Mama kamu pasti nggak tidur jagain kamu. Takut demam kamu tinggi lagi dan kamu mengigau. Begitu terus setiap hari, Kei, sampai kamu benar-benar sembuh.”
“Mama—”
“Berapa hari kemudian malah Mama kamu yang jatuh sakit.”
Perasaan Keira kini diselimuti oleh rasa bersalah. Kemarahannya kepada mama beberapa waktu belakangan ini membuatnya lupa bahwa mama juga telah berkorban banyak hal untuknya.
“Papa minta maaf, Kei, kalau Papa dan Mama sudah sering membuat kamu sedih. Keadaan memang sudah banyak berubah dan memaksa kita terpaksa harus tinggal terpisah seperti ini, tapi satu hal yang nggak akan pernah berubah Kei, Papa dan Mama tetap menyayangi kamu. Dulu, sekarang, dan sampai kapan pun.”
Keira menundukkan kepalanya. Dia sangat ingin bisa tinggal bersama papa dan mama lagi seperti dulu tetapi dia sendiri tahu kalau situasinya sudah berbeda.
“Kei, dengerin Papa, Nak. Papa sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau tinggal di sini, Papa malah senang kalau kamu ada di sini kita bisa bareng-bareng lagi kayak dulu. Tapi Papa nggak mau kalau keputusan kamu untuk pindah ke sini hanya karena kamu lari dari masalah.”