“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, Kei. Yang penting bagaimana caranya kita mau memperbaiki kesalahan itu.”
Keira baru saja sampai di Jakarta dan sekarang berdiri mematung tepat di depan pintu rumahnya. Rumah yang baru ditempatinya sejak mama menikah dengan seseorang yang kini dipanggilnya papi. Rumah yang pernah membuatnya merasa asing dan kesepian. Namun, perkataan Dimas dalam perjalanan pulang tadi terus terngiang dalam benaknya.
“Jujur aku bingung, Dim. Sampai di rumah nanti, aku harus ngomong apa? Aku harus bersikap kayak gimana di depan Mama, Papi, dan Canti?” tanya Keira akhirnya menyuarakan kegelisahannya. Sudah hampir satu jam dia duduk di dalam kereta yang membawanya pulang ke Jakarta. Sejak tadi dia hanya melamun sambil menikmati pemandangan melalui jendela kaca besar di sampingnya.
Dimas yang sedang asyik mendengarkan musik, menoleh ke arah Keira dan mencopot earphone-nya. “Kok, tiba-tiba mikir kayak gitu?”
“Selama di Bandung ini aku banyak mikir, Dim. Soal hubungan aku sama mama, soal kecemburuan aku sama Canti, dan juga sikapku yang kekanakan.” Keira tersenyum samar. “Kalau diingat-ingat, aku malu juga, sih. Kenapa juga aku harus iri sama Canti karena dia dekat dengan Mama, toh biar bagaimana pun juga sekarang kan Canti juga anaknya Mama.”
“Kalau dipikir-pikir kamu sama Canti tuh punya banyak kesamaan, ya.”
Keira mengerutkan keningnya. “Banyak kesamaan gimana maksud kamu?”
“Iya, kalian sama-sama iri satu sama lain. Canti pernah cerita kalau dia iri sama kamu, karena kamu punya Mama yang baik, punya sahabat setia, terus katanya kamu keren waktu menari.”
Keira menggelengkan kepalanya. “Nggak mungkin, masa iya Canti ngomong gitu.”
“Beneran. Canti ngomong sendiri sama aku,” sambung Dimas lagi. “Sementara kamu malah iri karena Canti dekat sama Mama kamu, kan lucu. Tante Wilma itu Mama kandung kamu sendiri lho, Kei, tanpa kamu minta pun dia pasti sayang sama kamu. Dan aku yakin rasa sayangnya nggak akan berkurang biarpun sekarang ada Canti.”
Keira merasa ingin menertawakan kebodohannya sendiri. “Bego banget aku, Dim.”
“Nah, kalau sekarang kamu ingin lebih dekat dengan Mama kamu, gimana kalau kamu coba dengan belajar lebih terbuka sama beliau. Kamu bisa cerita tentang banyak hal sama Mama kamu, apa pun yang mau kamu ceritakan, ya ceritakan aja.”
Keira menyimak setiap perkataan Dimas. Dia juga mau bisa cerita banyak hal sama mama, tapi dia bingung bagaimana memulainya. Apakah suasananya nggak akan jadi aneh dan canggung kalau dia tiba-tiba cerita banyak hal? Lalu apa mama mau mendengarkan setiap kali dia datang dan bercerita?
“Kamu bisa cerita sama Mama kamu sama kayak kamu cerita ke aku, Kei,” sambung Dimas lagi. “Mama kamu itu bukan cenayang, Kei. Dia nggak akan tahu apa yang kamu pikirkan kalau kamu nggak ngomong. Jadi gimana caranya Mama kamu bisa tahu perasaan kamu, bisa mengerti kamu ingin lebih diperhatikan kalau kamu nggak sampaikan itu.”
Keira hanya diam dan termenung. Mungkin selama ini memang dia sulit terbuka kepada Mama. Bahkan dia lebih gampang cerita ini itu sama Dimas. Berbeda dengan Canti yang begitu mudahnya mengajak mama bicara. Mungkin itu juga yang membuat mereka menjadi semakin dekat.