“Kaki lo harus point, Can. Harus lurus,” seru Keira lagi untuk kesekian kalinya. “Jangan bengkok-bengkok nggak jelas gitu kakinya.”
Canti memperbaiki gerakan kakinya sesuai dengan instruksi Keira. Terkadang rasa sakit dan lelah membuatnya ingin menyerah. Dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak. Dilemparkannya handuk yang melingkar di lehernya. “Udah, udah Kei. Give up gue, nggak bisa gue kayaknya. Gue mundur aja.”
Keira berdecak kemudian mematikan musik yang masih mengalun dari CD player. Hari ini mereka melanjutkan latihan di studio. Setelah rekonsiliasi yang terjadi di rumah, Keira dengan berbesar hati menyerahkan posisinya sebagai penampil solo dance kepada Canti, dengan syarat dia yang menjadi mentor pribadi Canti.
Biar bagaimana pun, Canti akan tampil sebagai perwakilan CROWN dan juga membawa nama sekolah, jadi Keira merasa terpanggil untuk melatih Canti. Apalagi dengan jam terbang Canti yang masih sedikit, dia harus berlatih ekstra keras untuk menyempurnakan gerakannya.
“Masa gitu aja nyerah, sih, Can,” tantang Keira. “Ini tuh belum ada apa-apanya.”
“Hhh... nggak bisa... Hhh, nyerah.” Canti mecoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah.
Menjelang hari kompetisi yang semakin dekat, latihan cheers pun menjadi semakin intensif. Hampir setiap hari sepulang sekolah mereka berlatih di studio. Keira kini hanya tampil bersama anggota CROWN yang lain sebagai peserta lomba cheers nasional. Sedangkan Canti hanya fokus berlatih sebagai penampil solo dance. Setiap hari seusai latihan bersama anggota CROWN yang lain, Keira akan memberikan pelatihan tambahan seperti sekarang.
Namun, entah kenapa Canti merasa tidak yakin. Menarikan gerakan-gerakan yang Keira lakukan sebelumnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Terbersit dalam benaknya untuk mundur dan menyerahkan posisi tersebut kepada Keira.
“Gue bisa bilang sama Miss Ines kalau gue nggak mampu. Lo lebih pantas untuk posisi ini, Kei.” Kali ini Canti berkata dengan setulus hatinya. Sebelumnya Canti mungkin merasa senang karena berhasil mengalahkan Keira, tetapi hati kecilnya tidak bisa menyangkal bahwa kemampuannya masih kalah jauh dibandingkan Keira. Apalagi sekarang setelah hubungannya dengan Keira yang semakin membaik, dia rasanya lebih rela kalau Keira saja yang tampil nanti.
“Lo apa-apaan, sih, baru juga kayak gini udah mau nyerah.” Keira berkata dengan nada tegas. “Lo tahu nggak berapa lama gue latihan supaya gue bisa lolos audisi solo dance ini?”
Canti mengangkat bahu. “Setahun, Can. Coba lo bayangin, dari awal gue masuk CROWN, gue udah kepingin banget bisa tampil solo dance, di depan ribuan orang untuk event skala nasional seperti ini. Makanya gue latihan setiap hari, gue usaha mati-matian untuk dapat posisi itu.”
Canti semakin merasa bersalah karena sudah menggantikan Keira. “Dan sekarang lo punya apa yang gue mau, bahkan mungkin banyak orang di luar sana juga ingin menggantikan posisi lo. Jadi lo nggak boleh menyerah gitu aja, dan menyia-nyiakan kesempatan yang lo punya.”
“Harusnya lo yang tampil, Kei,” ujar Canti pelan. “Gue nggak apa-apa mundur buat lo.”
“No.” Keira menolak tegas. “Kalau gue mendapatkan posisi itu hanya karena lo mengalah, lo malah bikin gue semakin nggak nyaman. Gue percaya kok, Miss Ines nggak mungkin sembarangan nunjuk orang.”
“Tapi gimana, nih, event-nya tinggal dua minggu lagi dan masih banyak gerakan gue yang masih salah-salah.” Nada suara Canti mulai terdengar putus asa.
“Makanya latihan yang benar, apa yang gue bilang tuh didengerin.”
Canti memicingkan matanya. “Ehhmm... Kei, lo beneran udah nggak apa-apa?” Canti masih perlu membiasakan diri melihat perubahan Keira seperti ini.
“Emang belum rejeki gue aja kali. Lagian jalan untuk jadi dancer profesional, kan bukan cuma ini. Gue masih optimis kok, gue tetap bisa mewujudkan mimpi gue lewat cara yang lain.”
Canti memiringkan kepalanya dan menatap Keira intens. “Bukan karena lo sakit atau depresi atau apa gitu, makanya tiba-tiba lo berubah baik sama gue?”
Keira refleks menjitak kepala Canti dan membuatnya meringis kesakitan. “Udah nggak usah mikir yang nggak-nggak. Sekarang mending lo latihan yang bener. Kalau sampai nanti lo malu-maluin gue, awas aja, gue pastiin hidup lo nggak bakalan tenang.”
Canti merenggut kesal. “Hmm... kalau sekarang gue percaya lo masih Keira yang galak kayak dulu.”
***
Pagi keesokan harinya, Pak Theo yang mengajar jam pelajaran pertama di kelas Keira tidak masuk. Beliau harus menghadiri rapat di kantor Dinas Pendidikan. Jam pelajaran kosong seperti ini jelas menjadi mata pelajaran favorit setiap murid. Guru BK yang sempat masuk pun hanya memerintah murid-murid untuk membaca materi pelajaran sendiri. Tentu saja ini menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh teman-teman sekelas Keira untuk bisa bersantai sejenak di tengah padatnya pelajaran sekolah.
Beberapa murid ada yang kabur sembunyi-sembunyi ke kantin. Geng anak-anak cewek ada yang asyik selfie, sambil bergosip sana-sini. Sementara itu, Gwen jadi punya kesempatan untuk menyontek PR fisika yang belum selesai dia kerjakan.
Hampir saja dia akan berteriak dan meminjam PR Keira seperti yang biasa dia lakukan. Namun, Gwen mengurungkan niatnya. Dia bahkan belum ngobrol lagi dengan Keira sejak kejadian di UKS waktu itu. Entah bagaimana memulainya, yang pasti dia merasa canggung untuk memulai pembicaraan duluan dengan Keira.
“Dim, gue minjem PR fisika lo, dong.” Pilihan satu-satunya yang bisa Gwen pinjam hanyalah Dimas.