Tak peduli suaramu cukup sumbang, menembanglah. Tak peduli hidupmu runyam berantakan, buatlah sebuah tembang. Lalu, nyanyikanlah.
Tapi kalau boleh kubilang, jangan kau percaya kata orang-orang. Mereka bisa saja memuji suaramu, mengangguk seolah menghayati lirikmu. Namun mereka akan jadi orang yang sama yang hanya diam kala kamu ditelan kenestapaan.
Kupikir itulah yang memang patut kutuliskan tentang Nastiti. Dan kepadamu kukisahkan tentang perempun yang kupikir hilang akalnya, tapi entah mengapa aku bisa memaklumi apa saja yang dilakukannya.
Matahari belum muncul. Udara dingin terasa sedikit menelusup ke dalam tulang. Suara sayup burung terdengar bersahutan. Ayam-ayam yang berkotek dan sesekali menabrak sesuatu terdengar. Begitu riuh. Begitu hidup.
Aku memulai hari dengan segelas kopi. Kopi hitam tanpa gula yang diseduh dengan air yang dijerang di atas tungku tanah liat. Air tersebut matang dan aroma sangit berbaur di dalamnya.
Aku menikmati kopi yang dibuatkan ibu. Pahitnya masuk ke dalam mulutku. Hangatnya membuatku lebih bersemangat. Aromanya begitu khas dan menyenangkan untukku. Semua kombinasi kopi ini yang selalu berhasil membuatku rindu pada ibu ketika aku merantau dulu.
Kuperbaiki sarung sehingga menutup kedua kaki. Kudengar suara gemericik di sumur belakang. Mungkin Nastiti sudah melakukan sesuatu di sana, entah itu mencuci baju atau mengisi air.
Sejenak melintas bayangan Nastiti. Tubuhnya yang padat berisi. Meski ia tidak terlalu tinggi, hanya sekitar sedadaku, tapi kuakui wajahnya manis. Rambutnya yang setengah berombak itu panjang sepinggang. Ia kerap menyanggulnya, sedikit asal-asalan hingga beberapa helai rambut turun menjuntai seperti sulur-sulur tanaman. Indah dan membuat tanganku gatal untuk merapikannya.
Tentu saja aku tidak pernah melakukan itu. Aku selalu berhasil menahan diri. Aku tidak mungkin melakukan hal kecil, tapi cukup intim semacam itu dengannya.
Tunggu. Aku tidak sedang memikirkan Nastiti hingga terasa seperti melakukan sesuatu yang salah. Aku hanya kerap melihatnya dalam kondisi seperti itu. Jadi, ketika aku mencoba mengingatnya, bayangan Nastiti dengan rambut disanggul asal-asalan itulah yang melintas.
“Nang, tolong ambilkan air.” Suara ibu membuatku menoleh. Ibu memanggilku Nang. Anak lanang atau anak laki-laki. Padahal aku sudah hampir berusia 40 tahun. Sudah beristri pula. Namun, di mata ibuku, aku memang masih saja dianggap seperti anak kecil.
Ibu berjongkok di depan tungku yang mengepulkan asap. Sesekali ibu terbatuk karena asap. Mungkin juga matanya terasa pedih. Entahlah. Namun, tangannya cekatan memasukkan kayu ke dalam tungku.
Kuali tanah entah berisi apa berada di atas tungku. Tumpukan kayu bakar dan blarak atau daun kelapa kering ada di dekat tungku. Ibu duduk di bangku kecil dan pendar api yang menjilat-jilat kayu itu menerangi wajahnya yang penuh kerutan. Rambut ibu memutih. Pagi ini ia menggenakan kaos berlapis. Kaos terluar yang dipakainya adalah kaos bergambar calon gubernur pada pemilu lalu.
Ibu tidak mengenakan alas kaki. Aku bisa melihat kuku kakinya yang menghitam. Juga kukenali bengkah-bengkah di telapak kakinya, bukti kaki itu tidak pernah mendapat perawatan sebagaimana puteri-puteri yang beruntung secara finansial.
“Njih[1], Bu.” Aku berdiri kemudian melepas sarung yang kupakai. Kuletakkan sarung itu di sandaran kursi kayu dekat satu-satunya meja yang ada di dapur ini.