“Sebenernya ibu kasihan sama Titi, Nang.”
“Lha gimana, Bu?” Meski tahu arah pembicaraan ini, aku tetap mengajukan pertanyaan.
“Ya itu, Damar itu 'kan kasar banget. Ibu kasihan sama Titi. Usaha lele mereka nggak bagus itu kan bukan salah Titi.” Ibu memandangku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke tungku yang berasap. Didekatinya tungku itu untuk melongok isi panci. Ia lalu memperbaiki api dengan tangan kirinya masih menggenggam singkong. Ia lalu duduk di kursi kecil di depan tungku. Kulihat ibu mencuil singkong di tangannya itu dan memakannya perlahan.
Aku diam saja. Sungguh aku tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga Nastiti dan Damar. Lagipula aku punya persoalan lain yang harus kuhadapi.
“Titi itu beda. Nggak kayak Lastri. Lastri itu meski penurut, masih mau ngomong. Kalau sama ibu ya kadang ngomong misal tidak suka ini atau tidak cocok itu. Lha kalau Titi itu apa-apa dipendem sendiri. Dirasakan sendiri,” kata ibu. Ia melirikku lalu mengambil jeda panjang dengan mencuil singkong dan memakannya perlahan.
Aku mengangguk meski tidak mengiyakan secara langsung kata-kata ibu. Memang Nastiti tidak pernah mengeluh. Ya, setidaknya aku tidak pernah mendengarnya mengeluh. Kuingat-ingat, Lastri pun jarang bercerita tentang keluhan Nastiti.
Suara tembang Nastiti masih terdengar. Disusul kemudian suara timba sumur dikerek. Ayam jago berkokok dan perkutut kembali bersuara. Sungguh ini semua serupa harmoni. Sebuah orkestra kehidupan yang sebenarnya sangat menyenangkan untukku. Meski tidak menguasai alat musik apapun, aku tahu paduan suara dari hewan-hewan itu sangatlah apik dan mensejajarkannya dengan keapikan sebuah pertunjukan orkestra. Hal semacam ini menjadi bunyi keseharian yang menentramkan, menandakan bahwa kehidupan kami di desa berjalan baik-baik saja.