Aku mengingat-ingat. Rasanya memang kepergian Laras dan Lastri berdekatan. “Apa menurut Ibu, Laras juga tergiur tawarannya Damar, Bu?”
“Bisa jadi. Dia sendirian setelah Mbah Joyo sedho[1]. Bisa jadi dia ke Arkara untuk sekolah atau kerja. Wong ya kita ini meski desa kecil, tapi ndak banyak saling ikut campur, apalagi si Laras ini kan termasuknya gadis pendiam dan tidak neko-neko[2],” kata ibu.
Aku mengiyakan perkataan ibu meski tanpa kata. Kalijati memang unik. Desa ini dikelilingi kebun karet dan singkong yang begitu luas. Tak bisa dikatakan jauh dari kota, meski juga tak bisa dibilang dekat. Penduduk Kalijati sebagian besar pendatang yang sibuk menggarap lahan-lahan luas milik orang kaya di kota. Dengan demikian, basa basi di antara kami selalu hanya sekadar di permukaan. Kami tidak sungguh-sungguh ingin turut campur urusan orang lain, terutama mereka yang datang hanya untuk mengelola lahan.
Aku mulai memikirkan kemungkinan itu dan mulai mengingat-ingat siapa lagi penduduk Kalijati yang pindah atau pamit merantau ke luar negeri. “Nanti coba aku tanya-tanya juga siapa saja yang mungkin tahu tentang Laras dan Lastri,” kataku. Aku sedikit jengkel karena ibu baru mengingat tentang Laras ini. Padahal ini mungkin bisa jadi petunjuk.
Ibu mengangguk. Ia kemudian beringsut bangkit dan memintaku membersihkan sabut kelapa. Aku mengiyakan. Lekas kumatikan kelobotku. Kuambil sepotong singkong rebus dan mengunyahnya cepat-cepat. Kuakhiri sarapan pagi itu dengan menandaskan kopi buatan ibu.
Aku segera mengambil kelapa yang dimaksud ibu. Nylumbat kelapa atau mengupas kulit kelapa kulakukan dengan cepat dan membawa kelapa itu ke dapur.
Pekerjaan ini sudah biasa kulakukan sejak aku masih kecil. Kelapa yang tua dan kering kubersihkan dan kemudian ibu membuat minyak dari kelapa-kelapa itu. Proses pembuatan minyak kelapa itu cukup lama. Meski demikian, bagian yang paling kusukai adalah saat aku bisa makan blondo yang dihasilkan dari endapan santan kelapa yang mengental dan berwarna kecokelatan. Rasanya manis dan gurih.
Halaman rumah yang tak seberapa ini memang ditanami beberapa batang singkong. Ibu juga menanam cabai dan terong. Ada juga bayam dan kenikir. Di sisi kanan rumah, aku menanam kacang panjang dan lanjar-lanjarnya menahan sulur-sulur kacang panjang itu. Kacang panjang yang masih muda itu memang enak diolah menjadi trancam. Semacam pecel, tetapi dengan bumbu kelapa dengan kacang panjang muda mentah yang dirajang kecil-kecil.
“Mas Karsan.” Suara Nastiti mengagetkanku. Kulihat dia berdiri di pintu dengan pakaian setengah basah. Sialnya, bagian dada sebelah kanannya terkena air hingga membuatku mengerang tertahan melihat apa yang kusaksikan.
“Nggg, ada apa?” tanyaku. Meski tak ingin berpaling dari dadanya yang memesona, kuarahkan juga pandangan pada tungku yang berasap. Api melahap kayu kering dan sedikit blarak yang dijejalkan ibu. Kulihat air dalam kuali di atas tungku mulai menggelegak. Namun, aku tak tahu apa yang harus kulakukan pada kuali dan isinya itu.
Aku sangat ingin mengembalikan pandangan pada dada Nastiti. Namun, ada semacam suara berbisik yang mengatakan bahwa akan lebih baik tetap memandangi kuali, tungku lengkap dengan asap itu. Kurasa benar, menatap dada Nastiti bukanlah hal sopan yang bisa dilakukan seorang adik ipar. Benar bukan?
Meski berusaha mengalihkan pandangan, akhirnya mataku kembali memandanginya. Sungguh sial sekali. Mataku menyusuri tidak hanya di area pakaian yang basah itu saja. Namun berlama-lama memandangi wajah Nastiti yang ayu.
“Ibu bilang nitip bumbon. Eng, kebetulan Titi memang mau ke pasar juga, Mas.” Nastiti diam. Ia menunduk. Kakinya bergerak-gerak sedikit. Tak urung aku melihat perempuan itu serupa anak kecil yang hendak mengutarakan keinginannya.
“Em, Mas Karsan mau ke ladang, ‘kan? Titi numpang sampai pasar boleh?” tanyanya beberapa saat kemudian. Suaranya lembut. Selembut bolu pandan yang biasa dibuat Lastri untuk dijual kembali. Hanya tentu saja Nastiti tidak berwarna hijau segar. Nggg, dia segar, tapi tak berwarna hijau. Kulitnya sawo matang dan itu membuatnya cantik alami.