“Ti, Titi? Kamu nggak apa-apa, Nduk? Bagas? Ya Allah, Bagas ….” Ada nada panik dalam suara ibu. Hal itu yang membuatku segera mengalihkan perhatian dari Damar dan motor sialannya.
Aku terperangah melihat kondisi rumah Nastiti. Aku nyaris tak pernah melihat rumahnya berantakan. Kalau pun berantakan karena ulah Bagas dan teman-temannya, saat sore menjelang rumah sudah kembali rapi.
Namun kali ini aku menemukan pemandangan yang sangat berbeda. Rumah ini serupa rumah yang baru saja diterjang badai. Tikar yang biasanya tergulung rapi tampak menghampar tak beraturan. Kursi yang terbuat dari ban bekas dalam posisi yang tak semestinya. Semua yang ada di ruangan ini tampak seperti hewan-hewan yang lintang pukang dikejar predator. Taplak meja berikut asbak juga ada di lantai. Beberapa piring dan gelas seng tersebar di lantai ruang tengah. Tampaknya benda-benda itulah yang tadi menimbulkan suara nyaring yang begitu gaduh.
Selama ini, aku selalu merasa heran karena Titi lebih gemar mengoleksi piring dan gelas seng. Padahal, setiap membeli deterjen harusnya dia punya piring melanin dengan cacat kecil yang tak terlalu kentara atau bisa juga bonus deterjen itu berupa piring kaca yang rapuh. Apakah selama ini dia menolak hadiah itu? Ah, tidak mungkin, bukan? Memangnya ada yang menolak gratisan begitu meski hanya sekadar piring dengan cacat kecil?
Masalahnya, aku memang nyaris tidak pernah melihat piring-piring itu. Titi juga tidak punya lemari pajangan dengan kaca yang bisa membuatmu melihat koleksi perkakas terbaik pemilik rumah.
Namun, melihat kondisi rumahnya saat ini, aku pikir mengoleksi piring dan gelas seng atau plastik adalah pilihan bijaksana. Aku tidak peduli lagi pada piring hadiah, atau benda apapun. Kurasa ruangan berantakan ini memberi penjelasan sejelas-jelasnya, begitu gamblang dan terang.
Di sudut rumah ada mobil mainan milik Bagas. Mobilan itu terbuat dari kulit jeruk bali yang pohonnya tumbuh di dekat sumur. Kondisinya rusak diinjak atau ditendang hingga membentur tembok.
Kondisi mainan itu masih lebih baik daripada mobilan yang terbuat dari plastik. Aku ingat mainan itu ditunjukkan dengan kegembiraan tak main-main oleh Bagas kemarin. Kini mainan plastik itu tak berbentuk.
Namun, hatiku lebih terasa remuk saat melihat Bagas dan Nastiti. Titi memeluk Bagas sambil tersedu-sedu. Rambutnya terurai dan berantakan. Pakaiannya koyak di bagian bahu. Dan di bahu itu kulihat ada memar.
Jika hatiku adalah bangunan, tentulah sudah hancur luluh. Bukan karena aku menilai bahu Nastiti terlalu seksi untuk dilukai. Aku hanya berpikir bahwa bahu yang mewakili semangatnya itu tak patut dilukai. Bukankah kita selalu mengatakan bahwa permasalahan serupa beban yang kita pikul di bahu?
Ibu memeluk Nastiti. Dilerainya Bagas dari pelukan perempuan yang sungguh tak elok rupanya karena luka di tubuh itu. Aku mendekati mereka, perlahan ibu menarik Titi dalam pelukan, setelah aku membopong Bagas.