Titi(k)

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #6

Tak Lelo Lelo Ledung

Pak Slamet memandang istrinya. Meski tahu apa yang terjadi, ia tetap mengajukan pertanyaan. “Bagas nggak apa-apa to?” Suaranya pelan dan penuh kewaspadaan.

Bu Dahlia menggeleng. Gerakannya perlahan. Teramat perlahan. Namun gerakan itu justru mampu meruntuhkan segala pertahanan yang telah kubangun. Lekas kualihkan pandangan. Tanganku mengusap mata, mencegah sesuatu mengalir menganak sungai. Aku takut sesuatu membanjir dan menghanyutkan banyak hal dari diriku.

Aku tidak ingin menangis. Meski tampaknya aku membutuhkan itu. Sejenak bayangan Nastiti melintas. Senyumnya yang paten dan begitu tulus. Tatapannya yang penuh cinta pada Bagas. Ugh, rasanya tidak bisa kubayangkan itu semua menghilang.

Wes, saiki[1] kita rawat Bagas. San, Karsan, kamu duduk dulu di situ. Nita! Sini, Nduk! Minta tolong ke rumah Bulik Titi, kabari Mbah Wiro tentang Bagas,” perintah Pak Slamet.

Aku masuk ke ruangan di mana Bagas terbaring. Tidak ada tanda-tanda bocah lucu itu bergerak. Ia serupa tidur saja. Tidur yang tenang. Teramat tenang.

Le. Gas, Bagas. Bangun, Le. Ini Paklik[2],” bisikku ke telinga Bagas. Perlahan tanganku menyentuh tubuh Bagas. Mencari tanda-tanda kehidupan. Sekecil apa pun itu.

Bagas diam saja. Seperti yang sudah kukatakan, ia serupa bocah kecil yang tidur nyenyak. Tidur tenang, terlampau tenang. “Le, bangun, Le. Ini Paklik, Le,” pintaku sekali lagi seraya mengguncang perlahan tubuh Bagas.

Tubuh Bagas membeku, tapi hatiku pun terasa sama. Mata Bagas terpejam, tapi kurasa pandanganku yang gelap tanpa setitik cahaya pun. Napas Bagas berhenti, tapi kupikir waktu dalam duniaku pun terhenti.

Aku tahu, Bagas tidak membutuhkan air mataku. Bocah lelaki kecil itu telah menanggung sesuatu yang teramat berat. Sesuatu yang bahkan tak bisa kutanggung.

Bu Dahlia memberikan selembar jarik. Jarik itu jelas masih baru. Meski ada aroma kapur barus tercium samar. Kulihat bekas kertas merk masih menempel di jarik. “Nang bagus, anak lanang bagus dewe[3],Paklik gendong ya Nang,” kataku di telinga Bagas.

Aku merasa yakin Bagas mendengar kata-kataku. Kubentangkan jarik. Perlahan kugulung bagian ujungnya. Kusampirkan jarik itu. Perlahan kuangkat tubuh Bagas. Tubuhnya masih hangat. Aku yakin kehangatan itu bukan berasal dari perasaanku yang paling dalam. Namun, memang tubuh mungil itu sungguh masih bernyawa.

Aku berjalan perlahan seraya menggendong Bagas. Kuusap kepalanya. Rambutnya kelam serupa malam tanpa bintang. Matanya bulat lucu warisan dari ibunya. Hidungnya mungil dan kerap menjadi sasaran tanganku jika aku gemas padanya.

Aku masih bisa mengingat bibirnya mengulas senyum. Juga suaranya yang riang kemarin sore, “Paklik, mobilan.” Begitu katanya seraya menunjukkan mobilan dari plastik. Mainan murahan yang telah membuat Bagas tersenyum bahagia. Mainan yang kulihat telah hancur di ruang tengah rumahnya.

Angin pagi terasa sejuk. Aku mendekap Bagas berharap dia tidak kedinginan. Ah, apa yang bisa kulakukan untuk membuatnya tetap hangat? Bagaimana bisa aku menolak tubuhnya yang perlahan mulai dingin dan kaku?

Lihat selengkapnya