Titi(k)

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #7

Sumarah #1

Namun, sebelum aku mendekatinya, perlahan ia melangkah memasuki rumah. Semua orang memberi jalan, seperti air di lautan yang menyibak ketika Nabi Musa mengacungkan tongkatnya ke Laut Merah.

Aku melihat ibu menyentuh bahu Nastiti. Kedua perempuan itu berpandangan. Nastiti tampak mengangguk perlahan. Masih sambil menyanyikan lagu nina bobo, ia melangkah ke bagian belakang rumah. Beberapa tetangga perempuan mengikutinya. Beberapa yang lain kulihat menggelar tikar dan merapikan barang-barang yang berantakan.

Pak Slamet dan beberapa orang datang memasang tenda. Semua dilakukan tanpa komando. Para tetangga bergerak dalam diam. Semua siap dalam waktu yang sangat singkat.

“Bagas nggak divisum saja, San?” tanya Pak Ignas. Aku menggeleng. Apa gunanya visum? Bukankah jelas bahwa anak itu meninggal karena perlakuan kasar dari Damar? Lagipula aku yakin Nastiti tidak mau anaknya divisum. Ah, entahlah. Bisa saja dia mau. Aku tidak tahu.

Kursi-kursi plastik tertata di bawah tenda kecil sederhana. Tenda itu kokoh tegak di pekarangan rumah Nastiti. Bendera kecil berwarna hitam bergerak-gerak dimainkan angin. Seketika aku membenci benda itu.

Suara percakapan setengah berbisik sempat kudengar. Tentu mereka yang berbisik itu bukan menggosipkan kematian Bagas. Buktinya, setelah berbisik, mereka kemudian menyebar entah melakukan sesuatu atau merapikan sesuatu. Penduduk Kalijati memang sekompak ini untuk urusan kematian. Hanya entah mengapa tidak pernah berusaha menghentikan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Nastiti.

Namun, aku seolah berkaca di tepi telaga. Aku sendiri pun tak pernah melakukan apa-apa untuk Nastiti. Aku pun sama saja. Selalu menunggu Damar pergi baru mendatangi rumah Nastiti untuk memastikan keadaannya.

Aku melihat Nastiti meletakkan Bagas di lantai. Kemudian ia memakaikan pakaian terbaik Bagas. Sebuah kemeja lengan panjang warna biru hadiah ulang tahun dariku. Celana panjang berwarna senada. Titi juga memakaikan kaos kaki disusul sepatu.

Tentang sepatu itu kisahnya berbeda, bukan sebuah kado ulang tahun. Anak lelaki kecil itu beberapa kali berkata pada Lastri tentang teman-temannya yang datang ke gereja dengan bersepatu. Meski sebenarnya, sebagian besar yang lain datang ke gereja dengan penampilan biasa saja.

Lihat selengkapnya