“Titi bisa bahagia to, Nang?” tanya ibu.
Pertanyaan yang diajukannya dengan suara lirih seperti sebelumnya. Kadang aku menduga ibu bertanya pada dirinya sendiri dan bukannya sungguh-sungguh ingin meminta pendapatku.
Aku menyalakan api untuk membakar ujung kelobotku. Kuembuskan asapnya lurus-lurus. Aku tak berniat menjawab pertanyaan ibu. Bagaimana pun pertanyaan itu terdengar retoris. Dan seperti kau tahu, semua pertanyaan retoris memang tidak membutuhkan jawaban.
“Bu, nanti malam sembayangan Bagas nggak usah nyiapin apa-apa ya, Bu?” Suara Nastiti mengagetkan kami. Aku menoleh dan menemukan ibunya Bagas itu berdiri di dekat pintu dapur.
Seekor ayam tampaknya mengincar sesuatu. Gerak-geriknya menunjukkan dia akan memasuki dapur. Meski demikian, ayam itu belum memasuki dapur yang setengahnya berlantai tanah.
Nastiti tampak lusuh dan lesu. Namun, aku bisa melihat bahwa ia tampak tenang. Maksudku raut mukanya tampak biasa saja. Tidak ada badai duka melanda atau sesuatu yang memporakporandakan hatinya.
“Nduk, sini duduk sini,” kata ibu sambil melambai. Nastiti berjalan perlahan. Ayam yang mengincar sesuatu itu perlahan masuk ke dalam dapur. Geraknya begitu perlahan-lahan seolah takut ketahuan. Namun, tidak ada satu pun dari kami tertarik untuk mengusirnya.
Nastiti duduk bersisian dengan ibu. Keduanya sekilas tampak sama. Lesu dan kusut. Namun, jelas kulihat dalam diri Nastiti muncul sesuatu yang tangguh, sesuatu yang tak bisa hancur begitu saja. Sesuatu yang rapuh, tapi sekaligus kokoh dalam perspektif yang mengerikan.
“Titi, ibu mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata ibu. Ibu meraih tangan Nastiti dan meremasnya perlahan. Titi menunduk dan tampak sibuk memandangi ujung baju.
“Nduk, apa nggak sebaiknya kamu pergi?” tanya ibu. Kembali pertanyaan itu disampaikan dengan suara lirih. Seolah ibu tak ingin siapa pun mendengar. Bahkan termasuk ayam yang mengincar sesuatu tadi.
“Pergi? Pergi ke mana, Bu?” tanya Nastiti. Pertanyaan itu disampaikan dengan ekpresi wajah yang mengesankan kebingungan alami. Ekspresinya juga seolah menunjukkan bahwa usulan ibu itu adalah hal yang sungguh baru, sesuatu yang tidak pernah masuk dalam radar pikirannya sama sekali.
Aku mengamati kedua perempuan itu seraya menghisap rokok kelobotku. Wangi kulit jagung kering bercampur aroma tembakau dan cengkih seolah memenuhi ruangan ini. Kudapatkan ketenangan dari aroma yang melingkupiku. Meski tentu saja badai yang berkecamuk di pikiranku belum benar-benar reda.
“Ya, ke mana saja, Nduk. Ibu nggak mau kamu kenapa-kenapa,” kata ibu seraya meraih Nastiti dalam pelukannya. Aku sempat melihat Titi mengeryit. Mungkin luka di bahunya terkena pelukan ibu.
“Titi baik-baik saja, Bu. Titi sehat gini lho,” kata Nastiti. Suaranya seperti teredam dalam pelukan ibu.
“Iya, ibu tahu kamu baik-baik saja. Juga tahu kalau kamu sehat. Tapi, ibu pingin kamu tetap baik-baik saja, terus sehat dan lebih sehat. Ibu nggak mau sampai ada kejadian kamu tidak tertolong. Pergilah Ti, mumpung ada waktu dan kesempatan. Mumpung Damar tak muncul sejak pagi. Ibu rasa dia bahkan tidak tahu tentang Bagas ….” Ibu menggantung kata-katanya.
Nastiti menggerakkan tangannya. Kali ini dia memeluk ibu. Rasanya ada balok es menghimpit dadaku. Dingin dan nyeri yang teramat menyakitkan.