Titi(k)

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #10

Tuduhan

Aku benar-benar marah. Bagaimana bisa Titi memutus kata-kataku begitu saja? Mengapa dia masih membela Damar? Sebegitu bodohnyakah Nastiti di hadapan cinta pada suaminya itu?

“Tidak usah pura-pura! Luka dan lebam milik Bagas itu bukti nyata kalau dia dipukuli. Dianiaya. Dan nggak ada yang cocok dituduh sebagai pelakunya selain Damar. Nggak mungkin kamu yang mukuli Bagas. Aku tahu kamu tidak punya ketegaan gila semacam itu. Kamu tidak segila itu,” kataku.

Aku membuang puntung rokok. Kumatikan apinya dengan menginjak sisa rokok itu. Rasanya dengan menginjak puntung rokok itu kekesalan yang membuncah di dadaku bisa kuluapkan. Meski sebenarnya tidak mengurangi apa-apa. Rasanya masih sama saja meski bara di puntung itu padam seketika.

“Titi nggak pura-pura, Mas. Titi ….” Titi diam dan memandangiku dengan wajah seperti bayi. Matanya bahkan tidak mengerjap tanda dia telah mengeraskan hati.

Aku jengkel sekali mendengar suara Titi dan ekspresinya yang polos itu. Aku benar-benar tak habis pikir perempuan itu bisa berpura-pura demikian. Atau memang begitulah perempuan? Mereka mesti kuat menahan perasaan, menekannya begitu dalam hingga yang muncul hanyalah ketenangan yang begitu sinting.

Aku melangkah lebar-lebar ke arahnya. Kucengkeram dia. Kutarik hingga perempuan itu berdiri. Ibu menjerit dan memintaku melepaskan Titi. Sementara Nastiti memandangiku dengan berani. Ia hanya menampilkan ekspresi menahan sakit. Namun, itu dilakukan dengan samar.

Aku meraih bahunya yang terluka. Kutarik kaosnya hingga bahu itu tersingkap. Tampaklah bahu putih yang kini memiliki lebam di beberapa bagian. Ada bekas sudutan rokok di bahu itu. Aku bergidik membayangkan penderitaan Nastiti. Namun, amarah sungguh lebih menguasai daripada kesedihan dan empati saat melihat luka-luka itu.

“Ini apa? Apa? Bilang, luka ini kamu dapatkan karena kamu jatuh juga dari dipan seperti Bagas? Okelah kamu jatuh dari dipan dan bahumu lebam. Tapi ini. Ini apa? Ini bekas sudutan rokok. Siapa aja yang ngeliat ini pun tahu ini bekas sudutan rokok. Kamu tidak bisa ….”

“Heh! Kamu apakan istriku? Mau kamu perkosa dia?”

Aku menoleh. Terkejut. Di pintu dapur berdiri Damar. Dia tampak seperti bayangan hitam mengerikan yang menyebarkan aura dingin. Rasanya dadaku sesak, tapi bukan karena kehadirannya yang tiba-tiba. Rasa tidak nyaman ini menyeruak karena aku menyadari lelaki itu lebih gila dari perempuan yang kucengkram bahunya.

Perlahan kulepaskan cengkramanku. Nastiti luruh. Ibu lekas memeluknya dan membantu memperbaiki kaos yang semula tersingkap itu.

Lihat selengkapnya