Titi(k)

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #13

Lingsir Wengi

Memandangi Nastiti yang demikian justru membuatku menyadari sesuatu. Perempuan itu justru merasa sangat kehilangan. Perasaan sedih yang teramat sangat itulah yang membuatnya justru tidak menangis.

Usai doa, dibantu beberapa tetangga, aku merapikan bangku plastik. Setelah menyimpannya di teras rumah Nastiti, aku segera kembali ke rumah. Sebelum pergi, kulihat ada beberapa tetangga yang masih merapikan beberapa barang. Tak lama lagi mereka pasti juga pulang ke rumahnya masing-masing.

Ibu tengah mengusapkan minyak ke tengkuknya. Dalam keremangan akibat lampu yang tak sungguh-sungguh menyinari, aku melihat ibu yang kuyu. Mungkin aslinya wajah ibu pucat.

Kuakui, peristiwa satu hari ini sungguh menguras emosi dan tenaga. Untuk perempuan yang sudah tak lagi muda, hal ini pastinya berat. Meski ibu juga tidak mengatakan apa-apa, ia mengusap minyak tanpa kata, bahkan tanpa minta bantuan padaku.

Kudekati ibu. "Sini minyaknya, Bu," kataku. Ibu memandangku sekilas lalu menyerahkan botol minyak yang isinya tinggal separuh itu. Kubantu membalur tubuh tuanya dengan minyak itu.

“Le, seandainya Titi mau ke luar negeri mbok ya dibiarkan saja gimana? Bukankah itu lebih baik daripada dia di sini dan dipukuli terus menerus sama Damar?” tanya ibu.

Aku terus mengusap tengkuk ibu. Ibu bersendawa beberapa kali. Aku kemudian mengusap kaki ibu dengan minyak yang sama. Kulihat dengan jelas kaki itu kurus dan berkeriput. Kuku kakinya hitam dan telapaknya pecah-pecah. Jari-jari kaki membuka lebar seolah memberi kesan bahwa kaki itu digunakan untuk mencengkeram tanah liat yang licin.

“Titi memang harus pergi dari sini, Bu. Tapi, jangan mengikuti jejak Lastri. Kalau dia mau ke luar negeri, dia harus cari lembaga penyalur yang benar. Aku nggak mau kejadian Lastri terjadi juga padanya. Cukuplah kita tidak bisa mendapat kabar tentang Lastri. Jangan pula Titi juga pergi tidak jelas seperti itu,” kataku sambil tetap mengusap kaki ibu.

Aku berusaha mengatakan itu tanpa menampilkan jejak emosi apa pun. Aku tidak suka ide itu. Jelas aku menentangnya dan tidak ingin membayangkan itu terjadi.

“Ibu tahu, Nang. Tapi rasanya kok ya daripada dia di sini gitu lho. Ibu khawatir kalau terus-terusan begini, dia bisa mati,” kata ibu. Tatapannya menunjukkan bahwa ibu merasa cemas akan nasib Nastiti. Kecemasan khas seorang ibu.

Lihat selengkapnya