Titi(k)

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #14

Manusia, Manusia

Aku ingat kata-kata Nastiti tadi. Gusti mboten sare, aku seng keturon. Astaga, Titi. Apa yang membuatnya menyimpulkan itu? Mengapa berpikir dia tengah ‘tertidur’? Apakah Titi tengah menggugat Tuhan dengan cara yang berbeda? Ataukah dia hanya mencoba menerima semua kepahitan hidup ini?

Aku ingin berteriak. Ingin kutanya mengapa Tuhan memberi cobaan seberat itu pada Nastiti? Lebih dari itu, mengapa aku dibiarkan menjadi saksi atas semua kesedihan dan kemalangan Nastiti?

Aku sering berpikir segala sesuatu terjadi karena ada sebab dan akibat. Hidup ini serupa rangkaian kereta api. Sesuatu menyebabkan hal yang lain. Panjang, sambung menyambung. Bergerak maju tidak peduli ada sesuatu yang menyakitkan harus dilalui atau ditinggalkan tanpa sempat diobati.

Aku tenggelam dalam pikiranku sesaat. Hingga kemudian aku sadar suara jangkrik terdengar begitu nyaring. Suara kesiur angin malam terdengar jelas. Aku melihat langit malam yang seolah makin bertambah kelam.

Kulayangkan pandangan pada tirai kamar Nastiti. Bayangan Titi masih di sana. Hanya saja bayangan itu diam. Suaranya juga tak terdengar. Aku perlahan bangkit. Aku tiba-tiba merasa cemas sesuatu terjadi pada perempuan dengan luka di tubuh dan hatinya itu. Kulempar kelobotku sembarang arah. Api memercik menghias malam untuk sesaat.

Tiba-tiba suara Nastiti kembali menyaru udara. Suaranya kembali jernih dan tak menampilkan ombak di hati. Sialan. Dia yang menembang, aku yang merasa mengambang. Seperti mati terapung-apung di lautan lepas. Serupa bangkai yang tengah dikitari puluhan burung hering. 

***

Hingga tujuh hari, doa untuk Bagas dilaksanakan. Selama tujuh hari itu, setiap pagi aku dan ibu menemani Nastiti mengunjungi makam Bagas. Aku seperti Yohanes, murid Yesus, yang mengantar Sang Ibu mengunjungi makam puteranya. Dalam setiap perjalanan menyusuri jalan setapak yang berbatu, aku mengamati Nastiti dan ibu yang berjalan bersisian. Keduanya jarang bercakap-cakap, memberi kesan dalam perjalanan itu keduanya tenggelam dalam doa litani panjang untuk Bagas.

Kadang, Nastiti menembang lirih dalam perjalanan menuju makam Bagas. Nderek Dewi Maria menjadi lagu yang paling sering disenandungkannya. Senandung lirih itu menyatu dengan dersik di pagi hari. Seperti berbaur secara alami dengan bunyi bambu yang bergerak ditiup angin. Semacam larut dengan embun yang menempel di daun-daun.

Lihat selengkapnya