“Tapi bagiku ini bukan hanya kencrung, Mas.” Nastiti menunduk. Sepertinya ia memandangi gelas kopi yang digenggam di atas pangkuan. Rasanya aku mendengar penekanan khusus pada kata hanya.
Ibu malah mendukung keinginan Nastiti untuk ikut denganku ke kota. Mungkin ibu berpikir perjalanan ke kota akan membuat Nastiti sedikit bergembira. Bukankah kadang ada kegembiraan-kegembiraan kecil ketika sejenak keluar dari rutinitas?
Aku menyerah. Aku mengiyakan dan segera kutangkap ekspresi gembira tak main-main di wajah Nastiti. Ia buru-buru menghabiskan kopi, mengambil sepotong singkong rebus, dan kembali ke rumahnya. Mungkin dia berganti pakaian.
Ibu memberiku uang yang mati-matian kutolak. Perempuan yang melahirkanku itu akhirnya berhasil memasukkan uang itu ke saku bajuku. “Beli makan yang enak. Ajak Titi makan yang enak. Kalau perlu kamu bayari kencrungnya itu!”
Aku hanya mengangguk. Uang dari ibu kubiarkan tersimpan rapi di saku bajuku. Aku punya cukup uang untuk membelikan Nastiti kencrung juga mentraktirnya di sebuah warung sederhana di kota.
Akhirnya aku dan Nastiti berangkat. Dengan menaiki motor tua warisan bapak, kami berkendara selama hampir tiga jam. Kalijati memang jauh dari kota. Untuk mencapai tempat itu, kami harus melalui bentangan kebun singkong yang terasa tak habis-habisnya dilewati.
Sesekali kami melewati lahan yang ditanami karet. Tanaman itu masih belum bisa disadap. Umurnya belum cukup. Batangnya nglancir alias kurus dan tinggi. Meski daun-daunnya lebat. Tapi kan banyaknya karet tidak ditentukan dari banyaknya daun.
Belum banyak orang yang berminat mengganti singkong dengan karet. Prospeknya belum jelas. Sebagian besar tetap menanam singkong karena masih ada yang membeli umbi itu. Setidaknya, masih ada kepastian hasil panenan disalurkan.
Nastiti duduk dengan posisi menghadap samping. Dia mengenakan rok yang membuatku sempat jengkel. Rok itu selalu berkibar-kibar ditiup angin. Pasti sesekali tersingkap. Lalu orang yang berpapasan dengan kami bisa melihat anggota tubuh Titi yang tak seharusnya bisa dilihat sembarang orang. Membayangkan hal itu membuatku sedikit kesal. Bagaimanapun orang tak boleh sembarangan melihat tubuh Titi. Ini soal kehormatan, bukan?