SUDAH LEBIH DARI SETENGAH JAM Alexandra menunggu di stasiun kereta monorail ini. Namun, sosok yang ditunggunya belum juga muncul. Dalam kesunyian tanpa gemuruh roda kereta dan suara langkah kaki penumpang, detak jarum jam yang tergantung di dekat peron pembelian karcis, terdengar jelas seperti detak jantungnya yang terdengar menghentak.
Menit-menit telah berlalu dan ia tetap saja membeku dalam ketidakpastian. Begitu pun, kereta-kereta telah datang-pergi, dan ia tetap sendiri mendekap hampa hati yang kian tak terperi. Mungkin aku sudah gila mengharapkan pria seperti Nicholas akan datang dan menepati janjinya, pikir Alex. Nicholas pasti sama seperti pria-pria yang dikenalnya selama ini yang tak pernah punya nyali untuk kembali, padahal cinta sudah di depan mata. Dihelanya napas panjang berusaha mengusir pengap yang datang menyergap. Pikirannya sebagai perempuan muda yang kerap menemui kegagalan melayang-layang tak karuan. Mungkinkah ia selamanya tak akan menikmati cinta sejati? Mungkinkah, entah untuk kali ke berapa, lagi-lagi dia kalah di medan pertempuran cinta? Dia selalu mengibaratkan cinta sebagai sebuah medan pertempuran. Dan di medan pertempuran itu, ia selalu berada di pihak yang kalah. Ia selalu gagal mempertahankan pria-pria yang dicintainya. Apakah sekarang juga akan berakhir seperti itu lagi?
Ia sudah berusaha melupakan sakit hatinya dan menganggap bahwa akhir seluruh kisah itu tak selalu sama. Namun, bila nyatanya dia selalu menjumpai akhir yang sama, maka masih mungkinkah mempertahankan setitik asa di dalam dada sana? Namun, entah bagaimana, jauh di lubuk hatinya ada sejumput keyakinan bahwa Nicholas akan menepati janjinya. Pikiran dan hatinya saling bertolak belakang seperti dua pemain anggar yang saling berusaha menjatuhkan satu sama lain. Wahai hati, tidurlah dari pikiran! Sebab pikiran adalah perangkap hati! Ia seperti mendengar Jalaluddin Rumi berteriak memberi peringatan. Maka, dipejamkannya mata untuk mengistirahatkan pikirannya yang mengembara kemana-mana.
Gemuruh kereta kembali memecah kesunyian stasiun. Alexandra membuka mata dan menatap nanar ular besi di depannya. Sebentar lagi, pintu-pintu akan terbuka secara otomatis dan memuntahkan para penumpang di dalamnya. Sekali ini, jika ia tak menemukan Nicholas, maka ia akan pulang ke hotel dan melupakan seluruh omong-kosong di antara mereka berdua. Matanya terasa panas saat ia menatap penuh asa ke pintu kereta. Mereka telah berjanji untuk bertemu di tempat ini untuk satu alasan yang sama : cinta.