ENAM BULAN YANG LALU.
Samar-samar dering telepon menyeruak masuk ke mimpinya...seperti bau harum masakan ibu yang selalu membangunkannya di pagi hari. Ia selalu terbangun dari mimpi yang sama, mimpi tentang kontak tembak antara pasukan militer dan gerombolan pemberontak. Dia terjebak di tengah-tengah kontak tembak antara pihak militer dengan beberapa orang pemberontak bersenjata AK-47, ia berusaha keras melepaskan diri dari bayang-bayang mengerikan itu. Ia terbangun, berkeringat dan linglung sesaat.
Oh, jam berapa ini? Tetapi, bukankah dia tak mengenal waktu, yang dia tahu hanyalah satu episode telah berlalu? Dia hidup dari hari ke hari tanpa sempat memikirkan jam berapa dan tanggal berapa sekarang. Hidup hanya dari satu tugas ke tugas lain. Begitu selesai satu tugas, maka sudah menunggu tugas berikutnya. Bukan dia yang berkuasa atas hidupnya, melainkan sang komandan yang selalu menelpon setiap saat, mirip yang dilakukan ibunya.
Diraihnya telepon yang masih saja berdering. “Halo?” sapanya mengantuk.
“Nicholas!” suara sang komandan terdengar menggelegar bak ledakan bom berbahan dasar C4 di seberang sana. Di kegelapan, dari deretan stereo set miliknya, samar terlihat pantulan angka digital berwarna merah menunjukkan angka 06.00 WIB. Angka-angka yang tak lagi penting untuk seorang abdi negara seperti dirinya, karena angka yang harus diingat hanyalah deretan pasal-pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Siap, Ndan!” Ia baru sempat tidur dua jam karena menyelesaikan laporan sebuah peristiwa kriminal. Sungguh melelahkan.
“Oh syukurlah! Bangun dan laksanakan tugas, Nak! Jangan bercinta terus dengan sembarang perempuan! Tubuhmu bisa membusuk nanti!”
Ya, ia memang telah lama membusuk oleh berbagai persoalan yang menumpuk. “Siap, laksanakan tugas!” ujarnya, berusaha mengusir kantuk yang masih melekat di pelupuk matanya. Ingin sekali ia bisa sehari saja tidur nyenyak tanpa terganggu oleh suara apapun.
“Nicholas, kamu sudah tahu? Semalam ada pencurian di Museum Kota. Pergilah ke sana sekarang, selagi nyamuk-nyamuk pers belum mengendus peristiwa ini!” kata sang komandan lagi.
Museum Kota hanyalah salah satu dari tiga museum yang ada di kota ini, ketiganya berada di bawah pengelolaan yayasan. Seingat Nicholas, Museum Kota bukanlah museum besar dengan sistem pengamanan canggih seperti Museum Louvre di Prancis. Sebaliknya, Museum Kota hanyalah sebuah museum kecil, penuh sesak oleh buku-buku dan artefak kuno serta berdebu.
Letaknya di pinggir jalan raya utama yang membelah kota. Lokasinya sangat strategis sebenarnya. Namun, entah kenapa, dari tahun ke tahun pengunjungnya tak pernah bertambah. Selalu sepi di hari biasa dan ramai di musim liburan. Banyak yang berpendapat, museum bukan tempat menarik untuk dikunjungi dan dilihat. Apalagi isinya hanya peninggalan-peninggalan yang sudah berumur ratusan tahun hingga berabad-abad.
Ya, segala sesuatu yang sudah berumur biasanya memang kurang menarik karena dianggap kuno, ketinggalan zaman dan membosankan. Semua hal -tak hanya museum- manusia pun demikian. Lihatlah gadis-gadis sekarang! Mereka lebih menyukai pria-pria muda yang masih penuh energi. Sementara, pria-pria tua hanya menanti di pojokan, menunggu satu dari mereka yang tak kebagian pria muda, memungutnya.
Dia pernah mendengar percakapan seperti itu di lift salah satu pusat perbelanjaan. Tiga orang remaja puteri, tiga wajah belia dengan mata berbinar, tengah cekikikan sambil menyedot minuman. Berbincang penuh semangat tentang seorang pengunjung berperut gendut. “Mau, Sis?” tanya salah satu dari mereka sambil melirik pengunjung berperut gendut yang turun dari lift. Kedua temannya tertawa.