Rini menunda niatnya untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya, karena wanita paruh baya itu merasa tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Benar saja, Rini menemukan anak perempuannya masih tertidur dengan pulas. Diliriknya jam dinding kamar Jani. Jarum jam sudah bersatu pada angka dua belas. Ya, ini sudah siang bolong. Namun Jani, satu-satunya perawan di rumahnya masih sibuk bergelut dengan mimpi.
"Bangun!"
Gumpalan di bawah selimut oranye itu hanya menggeliat saat Rini menggoyangkannya.
"Perawan kok jam dua belas masih belom bangun. Enggak malu sama ayam jago yang tadi pagi bunyi? Ayamnya udah selesai Ibuk jadiin opor."
Tidak ada tanggapan dari Jani. Rini akhirnya menarik selimut oranye itu. Tada.. Jani benar-benar berantakan di bawah sana.
"Kemaren waktu belum dapet kerja, kamu rajin sholat tahajudnya. Bangun juga lebih pagi dari Ibuk. Tadi subuhan enggak? Udah dikasih rejeki sama Allah, jangan sampai bolong kewajibannya," omel Rini panjang sambil melipat selimut milik Jani.
"Aku tanggal merah hari ini, Buk."
Jani akhirnya merespon. Meski dengan mata yang masih tertutup, dan posisi yang belum juga berubah. Setidaknya, itu memandakan Jani masih bernyawa.
"Iya Ibuk ngerti. Minggu emang tanggal merah. Terus kalau minggu bisa bangun siang sampai lupa sholat subuh?"
"Maksudnya, Jani dapet tamu. Dateng bulan, Buk."
Jani terpaksa membuka matanya. Di lihatnya sang Ibu tengah duduk di tepian ranjang. Lalu manik mata milik Jani menyipit silau saat melihat kondisi luar jendela. Sudah sangat terang benderang. Berapa lama ia tidur? Entahlah, yang Jani ingat ia tidur setelah selesai dengan maketnya sekitar jam dua dini hari.
"Jam berapa sih, Buk?" Jani bangkit dari posisinya dan bersadar pada kepala ranjang. Kepalanya memang sedikit pusing. Mungkin karena bangun dengan cara dipaksa. Atau karena ia terlalu lama berhibernasi.
"Jam 12 teng!" Jawab Rini.
"Hah?"
"Hah, Heh! Cepet bangun terus mandi. Tuh, bantuin Mbak Nana ngelipet kardus. Ibuk ada pesenan nasi kotak nanti jam empat sore," ujar wanita paruh baya itu sambil berjalan meninggalkan kamar Jani.
Jani mengangguk. Sementara sang ibu, membiarkan tuan putrinya itu berpenampilan lebih layak sebelum turun.
Setelah dirasa nyawanya penuh kembali, Jani mengambil handuk dan bergegas untuk menyegarkan diri. Cewek yang masih mengenakan setelan piyama dan rambut lusuh itu tidak langsung menuju kamar mandi. Jani berhenti sebentar untuk menengok ke lantai bawah.
Jani masih tidak sadar berapa lama ia pulas. Namun keadaan rumahnya yang ramai dengan suara mesin blender, hingga suara masakan yang telah mendidih, membuat Jani sadar bahwa ia telah melewatkan banyak waktu untuk mendekam di bawah selimutnya.
"Udah bangun?" Nana menyapa saat melihat Jani dari lantai bawah.
"Hehe.." Jani cengengesan.
"Cepet sini bantuin," Nana menunjuk tumpukan kardus yang siap di pindahkan ke dapur untuk diisi makanan. Melihat jumlahnya, Nana pasti sudah lama memulai sendiri untuk melipat lebih dari lima puluh kardus itu.
"Iya aku mandi dulu."
Mandi dengan kecepatan super kilat adalah keahlian Jani. Ia sudah terlatih berlomba dengan jarum menit jam karena bangun siang. Aneh, ia membanggakan kebiasaan buruk. Selesai merapikan diri, Jani segera turun. Ia duduk di hadapan Nana untuk membantunya mengurus kardus.
Nana tersenyum melihat kehadiran adik iparnya.
"Berapa kardus sih, Mbak?" Jani melihat tumpukan kardus di sebelahnya sudah menjulang. Tapi Nana masih terus melipat kardus yang tersisa di dalam plastik.
"Seratus lima puluh, Jan." Jawabnya.
"Wah, banyak."
Jani jadi merasa bersalah karena membiarkan kakak iparnya yang sedang hamil membantu ibunya sendirian. Sebenarnya, Jani yakin seratus persen ibunya pasti melarang menantunya yang sedang mengandung itu melakukan pekerjaan melelahkan. Tapi Jani juga yakin, Nana pastinya memaksa untuk membantu. Kakak iparnya memang seperti itu. Tidak bisa diam jika soal bantu-membantu.
"Kamu enggak mau makan dulu, Jan?"
"Nanti aja mbak, enggak laper."
"Ya udah, nanti makan siang sama-sama aja."
"Iya. Eh! Mbak balik dari Sukabumi jam berapa?"
"Sekitar jam sembilan tadi baru sampai. Mas Sigit ada tugas jam sepuluh, Jan."
"Keadaan Mamanya Mbak Nana? Maaf ya, aku enggak sempet jenguk soalnya lembur terus, Mbak."
Jani memang lembur selama bekerja di perusahaan barunya. Bukan hanya di kantor, Jani juga masih harus melanjutkan pekerjaan itu sampai rumah. Jam tidurnya kacau seminggu ini. Namun Jani tidak bisa protes pada siapapun. Karena ia masuk ke perusahaan tempat Tristan bekerja seperti mendapat golden card. Jani harus tetap profesional dan memberikan yang terbaik. Meskipun harus bekerja ekstra pada satu minggu pertamanya bekerja.
"Enggak papa, Mama baik kok. Di rawat lima hari, terus kondisinya semakin baik."
"Alhamdulillah, nanti Jani telepon Mamanya Mbak, deh."
Nana mengangguk.
Kemarin saat sepulang reuni, Jani kaget melihat keadaan rumahnya yang sepi. Ternyata Mamanya Nana masuk rumah sakit, karena asam lambung. Semua pergi ke Sukabumi untuk menjenguk. Nana dan Sigit sementara tinggal di sana sampai keadaan Mamanya membaik.
"Na, biar dilanjut Jani aja. Kamu istirahat gih."
"Iya, Mbak Nana kan baru perjalanan dari Sukabumi."
"Enggak papa, ini udah mau selesai juga, Buk."
"Selesai apaan? Masih banyak," batin Jani.
"Lagian, Nana masih mau ngobrol sama Jani. Di kamar juga mau ngapain. Nana tiduran aja bosen."
"Harusnya yang bilang bosen tidur itu si Jani ini." Rini langsung melirik Jani.
Jani yang mendapat lirikan tiba-tiba itu hanya mengendikkan bahunya. Sedangkan Nana tertawa renyah melihat ekspresi Jani. Jangan tanyakan seberapa sering sang ibu membandingkan dirinya dengan Nana. Itu terjadi semenjak Nana hadir di keluarga ini sebagai calon istri Sigit, kakak laki-laki Jani. Tidak terhitung! Tapi Jani realistis. Ia tidak pernah marah karena Jani mengakui apa yang ibunya katakan adalah kebenaran.