Aksa mengawali paginya dihari senin dengan meeting bersama anggota tim proyek Pak Hasani. Para anggota tim mulai melakukan presentasi sesuai tanggung jawab yang mereka emban untuk proyek ini. Tantang desain, tata letak, bahan-bahan, pekerja bangunan dan juga hal lain yang berkaitan dengan proyek pembangunan. Setelah sesi presentasi berakhir, seluruh anggota tim dan Aksa memberikan pendapat dan mencapai keputusan final untuk memulai proyek itu dua minggu lagi.
"Pak, saya berencana untuk ambil Della ke proyek ini. Della bagus diinterior dan bisa bantuin Jani, Pak," ucap Tristan.
Aksa belum menjawab. Dia malah membawa matanya berkeliling untuk melihat semua anggota tim Tristan. Aksa baru sadar, Jani adalah satu-satunya perempuan dalam tim itu. Sepertinya, mengambil anggota tim yang telah menyelesaikan proyek bulan ini adalah ide bagus. Jani mungkin akan merasa tidak nyaman jika menjadi satu-satunya perempuan dalam tim. Mengingat proyek Pak Hasani akan memakan waktu yang lumayan panjang, karena mereka akan menggarap tiga proyek di kota yang berbeda.
"Boleh," Jawab Aksa setuju.
Oke, jadi sekarang Aksa mulai memerhatikan kenyamanan Jani juga. Ada apa denganya? Itu juga pertanyaan yang Aksa tanyakan pada dirinya sendiri.
*****
"Terimakasih kerja samanya, meeting hari ini saya akhiri dengan keputusan yang sudah kita sama-sama sepakati. Setelah keluar dari ruangan dan sampai proyek Pak Hasani selesai, hari-hari tersibuk kalian sudah menunggu. Jaga kondisi dan kesehatan. Kelancaran proyek ada pada kalian semua."
"Baik, Pak." Semua anggota tim menjawab atasan mereka dengan kompak.
Aksa tersenyum.
"Sekarang kalian bisa bersantai menunggu istirahat makan siang."
Setelah mendengarkan perintah atasannya, mereka yang menghadiri meeting hari ini mulai berkemas. Satu persatu anggota tim Tristan mulai keluar meninggalkan ruangan. Kecuali Jani yang masih mengurusi maketnya, dan Tristan yang menunggu untuk membantu sahabatnya itu.
"Makan siang di luar yuk, Jan. Lo lagi pengen makan bakso depan stasiun, kan?"
"Sekarang?" Tanya Jani.
"Tahun depan, ngapain sekarang."
"Ehemm..."
Dua orang itu menatap sumber suara secara bersamaan. Tristan melupakan Aksa yang masih ada di ruangan itu juga.
"Eh, Pak Aksa."
"Gue ada janji makan siang di luar juga hari ini, Tan," jawab Jani mengalihkan tatapannya dari Aksa.
"Sama siapa? Lo kemana-mana masih sama gue di sini. Udah dapet kenalan aja lo, Jan?"
"Tan, udahlah..." Jani menatap Tristan sambil menggelengkan kepala. Dia tidak ingin si Tristan melanjutkan percakapan ini.
"Eh, Siapa? Harus izin gue dulu lah! Gue kan yang bawa lo kesini!"
Jani salah tingkah. Dia tidak berani menatap Aksa. Pasalnya, orang yang mengajaknya makan siang sedang mendengarkan apa yang Tristan katakan saat ini. Sahabatnya itu memang cerewet, Jani tidak bisa mencegahnya.
"Jawab, Jan! Gue enggak mau kecolongan lagi. Lo deket sama si Voldemort juga dulu lepas dari pantauan gue. Di sini cowoknya kebanyakan udah pada beristri. Kalau lo dideketin sama mereka gimana?."
"Belum nikah, udah ah!" Jani menjawab sambil melangkahkan kakinya untuk pergi dari ruangan.
"Lo tahu darimana? Cuman sebutin siapa doang kok susah sih!" Nada suara Tristan berubah kesal saat mengikuti Jani dari belakang.
"Tristan."
Langkah si pemilik nama seketika terhenti. Jani juga mengurungkan diri untuk meneruskan langkahnya. Mereka berdua kembali menatap Aksa yang masih berada di posisinya.
"Iya, Pak?"
"Emang siapa aja yang belum nikah di kantor ini?"
Tristan sesaat kebingungan. Tapi sedetik kemudian, dia segera menjawab pertanyaan atasannya itu.
"Saya, Abi, Randi, Fachril. Udah, Pak, kayaknya cuma itu aja."
"Saya juga belum menikah, Tan."
"Eh.." Tristan menatap Jani dan menemukan manik mata sahabatnya itu sedang mengarah pada Aksa.
"Maaf, Pak?"
"Saya mau minta izin ngajak Anjani makan siang. Bolehkan? Saya belum menikah kok."
"Bentar-bentar, Jani?" Tristan meminta penjelasan dari Jani, karena dia benar-benar tidak paham.
Jani melirik Tristan kesal.
"Lo ngomong sepanjang dan secepet KRL jurusan Rawa Buntu. Gue mau jelasin di luar, tapi lo enggak sabar," jawab Jani.
Bola mata Tristan membulat sempurna. Perasaan kaget, malu dan juga takut menyinggung atasannya itu jadi satu. Keringat dinginnya mulai mengalir di pelipisnya.
"Ma-maaf, Pak."
Aksa tersenyum, dia berjalan mendekat pada dua pegawainya yang masih ada di ruangan meeting itu.
"Diizinin enggak, Tan? Katanya tadi harus izin dulu ke kamu."
"Wah, boleh! Bawa aja nih, Pak. Tapi makannya banyak, Pak," jawab Tristan dengan semangat. Seakan menyerahkan Jani dengan suka cita.