Titik 0 Km

Egi Arganisa
Chapter #7

7. Logika yang Masuk Akal

Mencium aroma menu sarapan yang sudah siap, Jani segera turun ke lantai bawah. Dia bangun lebih awal pagi ini. Jani ingin menikmati sarapannya tanpa diburu waktu. Seperti dugaannya. Meja makan masih sepi. Keluarganya memang tidak mematok jam makan. Selama masakan sudah siap, semua boleh makan kapan saja.

"Ibuk mana?" Jani bertanya pada kakak laki-lakinya itu.

"Nonton siaran ulang dakwah di tv."

"Oh.." Jani ber'oh' ria sambil mengisi piringnya dengan nasi goreng buatan Nana.

"Pilih kasih, Bapak enggak dicari?" Anton protes sambil bergabung bersama kedua anaknya.

"Mandiin si Beo," jawab Jani dan Sigit dengan kompak. Mereka seolah sudah hafal kebiasaan Bapaknya.

Anton tersenyum bangga, sedangkan Jani dan Sigit saling menatap heran.

"Kamu nanti berangkat kerja barengan sama Mas Sigit aja loh, nduk."

"Emang Mas Sigit mau ke kantor polisi daerah sana?" Tanya Jani seraya mengambil porsi kedua sarapannya.

Hari ini Nana yang membuat nasi goreng untuk sarapan. Bertambah pula nafsu makan Jani karena dia sangat memuja rasa nasi goreng buatan kakak iparnya itu.

Sigit menggeleng, "Searah aja, mau nganterin Nana ke rumah sakit buat periksa kandungan."

"Libur to, le?"

"Patroli siang, Pak."

"Ya udah, ikut Masmu sama Mbak Nana aja kamu," ucap Anton pada anak bungsunya.

"Kalau barengan sama Mas cepet makannya."

"Iya, Jan. Keburu antri nanti," Nana menambahi kalimat suaminya.

"Oke," jawab Jani singkat.

Memang masih terlalu pagi untuk Jani berangkat. Tapi, tidak mungkin dia menolak tawaran Sigit untuk pergi dengan mobil pribadi, menikmati AC tanpa perlu diburu waktu dan berdesak-desakan seperti saat menaiki angkutan umum. Itu adalah jackpot baginya.

Sebenarnya, Jani juga bisa mengendarai mobil. Tapi Rini, ibunya terlalu posesif. Dia tidak pernah diizinkan membawa mobil sendirian. Padahal usia Jani sudah lebih dari cukup untuk hal itu. Dia juga memiliki surat izin mengemudi sejak kuliah semester satu. Sudah mahir? Tentu bisa dikatakan demikian. Tapi mau bagaimana lagi, ibu kepala suku sudah bersabda. Tidak ada yang bisa menentang. Jani juga sudah bosan protes.

"Jani cepet! Mbak Nana sama Mas Sigit udah nunggu itu loh," Teriak Rini.

"Ya ampun, belum cukup sarapan dua piring?" Rini heran melihat tas plastik tembus pandang yang dibawa anak bungsunya itu. Jani memang membawa kotak makan berisi sisa nasi goreng untuk sarapan tadi.

"Tristan tadi liat story Jani, Buk. Bilang belum sarapan. Dia minta dibawain."

"Kok enggak bilang? Mbak tadi kan bisa bikinin yang baru," Nana menyahut dari mobil.

"Tristan ini, Mbak," jawab Jani santai.

Bahkan sebelum Nana makan di satu meja bersama keluarga ini, Tristan sudah lebih dulu melakukannya sebagai teman tidak tahu malu. Jadi, Tristan bukan orang yang perlu mendapat gelar spesial.

"Ya udah sana berangkat."

"Aku berangkat dulu ya, Buk," Jani mencium tangan Ibunya.

"Ati-ati, Git."

"Iya, Buk."

Jani duduk di kursi belakang. Sekarang ini, dia hanya bisa menikmati kemesraan sepasang suami istri di depannya. Iri? Tentu Jani mengiyakan. Umurnya sudah mengijak awal dua puluh tujuh. Menikah adalah salah satu list hidup yang juga ingin Jani segerakan.

"Satu tahun lagi, aku mau minta kamu ke orangtuamu."

Jani jadi ingat janji Abrian dulu. Ternyata si pembuat janji yang menumbangkan angan-angan itu sendiri. Waktu yang Abrian minta sudah berakhir, bersamaan dengan berakhirnya hubungan mereka.

"Ngelamun aja, Jan?"

Lihat selengkapnya