Titik 0 Km

Egi Arganisa
Chapter #8

8. Rahasia Move On

"Asli, Pak Aksa suka sama lo!"

DEG.

Entah kenapa jantung Jani merespon demikian, saat Tristan secara gamblang mengatakan Aksa menyukainya. Beberapa hari lalu, jantungnya juga memberikan respon yang sama saat tanpa sadar mendekat pada Aksa untuk menyentuh kening atasanya itu. Awalnya, Jani kira hanya efek dari rasa khawatir. Tapi sekarang, Jani merasakan detak jantungnya kembali berpacu dengan lebih cepat.

"Bener kan? Naksir juga lo?"

"Ngaco!" Jani buru-buru menjawab.

"Terus kenapa nasi goreng gue lo kasih ke dia?"

"Dih, udah diganti bento box juga sama Pak Aksa," Jani membalas protes dari Tristan.

"Oke, sekarang serius! Bukan sekali dua kali gue liat pak Aksa curi-curi pandang ke arah lo, Jan."

Jani berdecih.

"Gimana menurut lo soal itu?"

"Ya enggak gimana-gimana. Gini ya, Tan, Pak Aksa itu ganteng, atasan perusahaan pula. Kalaupun dia lagi suka sama cewek, enggak mungkin sama gue! Misal aja sama Della yang lebih segalanya dari gue, itu lebih masuk akal kalau Pak Aksa suka sama dia," Jani segera memberikan kemungkinan terburuk yang paling mungkin terjadi. Dia tidak mau berharap. Hatinya masih peka terhadap luka akibat pengharapan yang sia-sia. Apalagi ini Aksa. Semakin jauh saja lagit dan tempat dia berdiri.

"Hati orang siapa yang tahu."

"Udahlah, Tan!"

"Bentar pelan-pelan. Hargai gue yang enggak sekantor sama kalian dong! Pak Aksa itu siapa?" Tanya Anya setelah merasa tidak mendapatkan keadilan sebagai seseorang yang hanya bisa menjadi pendengar dalam obrolan dua teman satu kantor itu.

"Atasan kita berdua, Nya," jawab Tristan.

"Om om dong?"

Jani dan Tristan menggeleng bersamaan.

"Masih muda, baru jalan ke tiga puluhan kayaknya. Oh iya, dia alumni Sma kita juga. Angakatannya Mbak Nana, kan?" Tristan mengingat-ingat.

"Lo bilang enggak ke Pak Aksa?"

"Bilang apa?"

"Kalau lo itu adek ipar mayoret angkatannya?" Tristan menambahi.

Jani menggeleng, "Mbak Nana aja enggak kenal. Mereka juga enggak satu kelas. Ngapain gue tanya-tanya. Lagian, kita enggak sedeket itu."

"Tapi pastinya kenal sih sama Mbak Nana. Liat aja dulu, dia mayoret sekolah dan circlenya gede. Hampir semua anak Sma Merdeka kenal."

"Mungkin aja Pak Aksa dulu tipe anak perpus. Mainnya bukan di lapangan, tapi baca buku teros."

"Jangan mau sama kutu buku, Jan," Anya menimpali.

"Dih, tapi ganteng, kaya, atasan pula."

Jani hanya mendengarkan dua orang yang sedang asik membahas Aksa. Beberapa kali Jani juga mendengar namanya disebut oleh Tristan. Jani berinisiatif mengambil minuman dingin dari kulkas kamar Anya. Sahabatnya itu perlu sesuatu agar berhenti bicara omong kosong. Obrolan mereka berdua sudah terlalu jauh tentang hubungan Jani dan Aksa.

Kamar kos ini sudah seperti rumah sendiri bagi Jani dan Tristan. Sangking seringnya berkunjung, Ibu kos-kosan sudah menganggap mereka berdua adalah anak kosnya. Bahkan Jani maupun Tristan mempunyai duplikat kunci kamar kos itu untuk berjaga-jaga. Sebab di antara mereka, hanya Anya yang tinggal sendiri dan jauh dari keluarganya.

"Dari cerita Tristan, kayaknya oke si Aksa itu, Jan. Gas aja deh kalau dia lagi kode-kode mau deketin," ucap Anya setelah menerima teh kotak dari uluran tangan Jani.

"Udah deh, jangan ikut-ikutan Tristan! Enggak jelas!"

"Kok gue sih? Orang cuman pendapat aja, negara ini demokrasi kali!"

Jani menghela napasnya.

"Hubungan gue sama Pak Aksa cuma sebatas pegawai sama atasan. Sama, kayak lo juga, Tan. Udah selesai," ucap Jani sambil berjalan mendekat lagi pada temannya itu.

Tristan langsung protes, "Ngajak makan siang berdua dengan berkedok urusan kerjaan dan bonus Pak Hasani. Tapi ngajaknya ke warung bakso yang harusnya kita datengin berdua. Wajar?"

"Ya wajar aja! Emang apa yang aneh?" Jani belagak naif. Padahal dia sendiri juga merasa itu tidak wajar.

"Ya anehlah! Pikir, masa bonus dari Pak Hasani cuman makan siang semangkok bakso?"

"Udah makan siang bareng?" Tanya Anya, "Kok enggak cerita sih lo." Tambahnya sambil memukul bahu Jani, "Eh, ada fotonya enggak, Tan? Instagram? Penasaran gue," Anya bersemangat sekali.

"Ada sih instagramnya, tapi enggak ada fotonya. Biasalah, tipe-tipe misterius yang cuma suka posting foto objek mati."

Anya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Cewek itu kembali fokus pada kaca rias untuk memperbaiki garis eyeliner pada matanya. Karena saat ini dia sedang sibuk merias diri.

"Lo jalan sama Oscar jam berapa sih, Nya?" Jani segera mengalihkan pembicaraan saat Anya kembali akan menanggapi Tristan. Dia tidak mau meneruskan pembahasan Aksa hari ini.

"Emang jadi jalan sama Oscar?"

Lihat selengkapnya