Jani menghampiri Nesya yang melambaikan tangan padanya. Restoran makanan cepat saji memang selalu ramai, apalagi dijam makan siang. Untung saja Nesya segera menyadari kedatangan Jani. Jadi, seniornya itu tidak perlu kesulitan mencari dirinya.
Hari ini Jani sedang mendapat tugas survey lahan, saat iba-tiba mendapat pesan ajakan makan siang dari Nesya. Dia adalah salah satu anak magang perusahaan tempatnya bekerja. Jani setuju, karena kebetulan posisinya tidak jauh dari tempat makan yang Nesya sebutkan. Belakangan ini mereka memang dekat sebagai sesama anggota tim dalam proyek gedung theater.
"Darimana, Nes?" tanya Jani setelah duduk di kursinya.
"Ngecek persiapan material, Mbak," jawab Nesya.
"Pesen dulu yuk," ajak Jani sambil berdiri. Karena jujur, cacing di perutnya sudah protes meminta amunisi.
"Tunggu, Mbak," tiba-tiba Nesya menahan Jani dengan memegang tangannya. Jani menatap Nesya bingung. Tapi instingnya kuat, jika akan ada hal yang tidak baik terjadi hari ini.
"Kenapa?" Jani kembali duduk.
"Sebenernya gue enggak tahu ini bener apa salah. Tapi, Mas Abrian."
"Mas?"
Nesya gelagapan.
"Pak Abrian," ia memperbaiki.
Jani berdecih.
"Sejak kapan lo manggil HRD perusahaan tempat lo magang dengan sebutan Mas? Dan sejak kapan lo manggil pacar gue begitu?" Jani meminta penjelasan lebih.
Nesya terlihat salah tingkah.
"Kita enggak ada apa-apa kok, Mbak. Gue dulu cuman juniornya waktu di kampus."
"Enggak ada apa-apa? Terus apa maksud lo bilang enggak tahu bener atau salah?"
Jani melupakan rasa lapar di perutnya. Inginnya sekarang hanya menyelesaikan pembicaraan bersama Nesya dengan topik tidak terduga ini.
"Gue cuma pengen Mbak Jani tahu, gue sama Mas Abrian punya hubungan," Nesya memejamkan matanya saat mengatakan hal itu.
"Hubungan?"
"Aku juga seseorang yang lagi ada di hatinya Mas Abrian."
Seketika waktu terasa berhenti bagi Jani. Sementara Nesya, dia melanjutkan cerita tentang bagaimana hubungannya dengan cowok yang sudah memiliki kekasih itu dimulai. Jani tahu Nesya adalah junior Abrian saat di perguruan tinggi. Tapi Jani tidak tahu, dan tidak pernah menyangka Nesya dan Abrian pernah sangat dekat sebelum pertemuannya dengan Abrian di kantor.
Meski begitu, Jani masih berharap ada titik kebohongan dalam cerita Nesya. Tapi Jani harus menerima hasil nihil kebohongan yang dia harapkan. Kenyataan sudah di depan mata. Jani sendiri bisa pastikan bahwa apa yang Nesya ceritakan itu benar. Semua cerita Nesya terdengar terlalu masuk akal.
"Sekarang, intinya aja lo mau gimana, Nes?"
"Maaf, Mbak. Gue juga sayang sama Mas Abrian. Gue tahu ini salah. Tapi, Mbak Jani juga enggak mau kan berbagi?"
"Nes!"
"Maaf, Mbak."
Nesya terdiam sambil menunduk. Dia sadar jika sudah tidak tahu diri meminta Jani untuk merelakan Abrian menjadi satu-satunya miliknya. Dia datang belakangan, tapi minta diutamakan. Hanya saja, Nesya tidak ingin kucing-kucingan bersama lelaki yang dia cintai. Lagipula, Nesya tahu bahwa Jani akan melepaskan Abrian untuknya.
Jani tersenyum sinis, "Baik, lo boleh jadi satu-satunya buat Brian," ucapnya. Sebelum akhirnya memilih pergi meninggalkan Nesya. Jani bukan menyerah begitu mudah. Dia hanya berpikir tidak ada yang bisa dipertahankan lagi.
Kepercayaannya yang Jani jaga selama satu tahun untuk Abrian rusak dengan percakapan sepuluh menit lalu. Perselingkuhan itu tidak bisa disamakan dengan permasalahan yang bisa selesai dengan kata maaf. Ini masalah serius yang harus segera Jani selesaikan dengan Abrian secepatnya. Walau tanpa perlu bicara dengan Abrian pun, Jani sudah membawa akhir hubungan dalam genggamannya.
******
Begitulah bagaimana perselingkuhan cowok di hadapan Jani saat ini terbongkar. Bukan Jani yang mencari tahu. Tapi salah satu dari yang bersangkutan dengan tidak tahu malu mengaku pada dirinya. Kemarin setelah mendiamkan pesan Abrian, Jani akhirnya membalas pesan itu. Dia setuju untuk membuat janji pertemuan siang ini bersamanya. Tidak bermaksud apa-apa. Jani hanya ingin menyelesaikan hal-hal yang mungkin dirasa oleh Abrian masih belum selesai.
"Makasih udah mau dateng, Jan."
Jani menjauhkan tangannya saat Abrian hendak memegangnya.
"Gue setuju ketemu, bukan setuju kasih lo kesempatan kedua," jawab Jani.
"Jan, please.. Maafin aku. Apa enggak bisa kita perbaiki semua dari awal?"
"Memperbaiki yang udah lo rusak, Bri. Bukan kita," Jani memberi penekanan pada kata "kita".
"Maaf, Jan. Gue tahu, gue salah."
Jani tidak bergeming.
"Kalau lo enggak mau nerima gue lagi, kenapa lo setuju ketemu?" Nada suara Abrian berubah lebih meninggi.
Jani tersenyum simpul.
"Gue udah tahu, lo lagi ada masalah di kantorkan? Nesya kasih kinerja kurang bagus dan dicut sama atasan. Lo enggak bisa ngebela buat mertahanin dia. Nesya enggak terima dan nyebar gosip gimana hubungan kalian dimulai. Masalah itu sampe ke Pak Reno, karena itu beliau lagi kasih attention ke lo."
Abrian terdiam. Dia tidak bisa menyangkal, karena apa yang Jani katakan adalah sebuah kebenaran. Ya, dia memang ingin reputasinya di kantor kembali baik. Saat Jani re-sign tiba-tiba enam bulan lalu, dia juga menjadi perhatian orang kantor. Tapi untung saja, kesibukan perusahaan membuat kabar tentang pengunduran diri Jani mereda dengan sendirinya. Tapi karma tetaplah karma, semua hal akan berakhir seperti bagaimana semua itu dimulai. Hubungannya dan Jani rusak karena ulah Nesya. Sekarang, reputasi Abrian kembali jadi sorotan perusahaan karena ulah orang yang sama.
"Kalau lo mau kita balikan supaya seolah-olah kita baik-baik aja buat menyangkal rumor itu, lo te.."
"Jan, lo ngerti dong!" Abrian sedikit membentak saat memotong kalimat Jani yang belum selesai.
"Semua orang pernah ngelakuin kesalahan. Apa lo udah sempurna? Apa lo enggak pernah bikin kesalahan?" Abrian protes.
"Kesalahan? Selingkuh itu mutlak kesadaran, udah gue bilang."
Abrian menghela napasnya kasar.
"Lo pikir gue selingkuh karena siapa? Karena lo yang enggak ada waktu buat gue! Lo nganggep semua baik-baik aja karena kita ketemu di kantor tiap hari. Gue bukan cuma butuh itu!"
Jani terhenyak dengan apa yang baru saja Abrian katakan. Tapi Jani hanya mencoba diam. Dia tidak boleh menangis. Air matanya terlalu berharga untuk seseorang seperti Abrian.
"Mungkin lo enggak tahu, gimana rasanya rela enggak bisa napas demi terus bertahan sama lo! Lo cewek paling keras kepala yang pernah gue tahu! Kesalahan bukan cuman ada di gue ya, Jan! Lo sumbernya, semua berawal dari lo sama Nessa. Sekarang, apa adil kalau reputasi gue hancur di kantor sendiri? Gue berusaha ngomong baik-baik, tapi lo masih aja ngerasa enggak pernah buat salah! Asal lo tahu, gue nyesel selingkuh sama Nesya. Tapi Anjani, gue enggak pernah nyesel udah selingkuh dari lo," Abrian menambahi.
Jani tidak merespon. Akhirnya, Abrian menunjukkan siapa dia sebenarnya. Jani sudah tidak ingin menanggapi apa yang Abrian katakan tentangnya. Jani berdiri untuk bergegas pergi. Tapi sebelum dia meninggalkan Abrian, dia menunjukkan sebuah ruang percakapan dari aplikasi hpnya pada mantan pacarnya itu.
"Orang kantor nanya ke gue. Apa bener, gue re-sign karena lo selingkuh sama Nessa? Bisa lo baca? Gue udah jawab itu enggak bener."