Kejadian beberapa hari lalu membuat Jani dan Aksa semakin dekat. Mereka mulai membuka hati untuk saling mempersilahkan. Sekarang, Jani dan Aksa lebih sering berkirim pesan, saling menanyakan kegiatan harian, dan berbicara lewat telepon bukan menjadi hal canggung lagi. Meskipun percakapan mereka kadang terasa monoton, tetapi mendengarkan suara satu sama lain adalah hal favorit yang mereka tunggu setiap hari.
"Tan jemput gue dong," Jani berbicara setelah nada panggilan yang menghubungkannya dengan Tristan, berubah menjadi suara khas sahabatnya itu.
"Suruh jemput Pak Aksa dong..."
Jani sengaja mengaktifkan loudspeaker. Karena dia menghubungi Tristan sambil bersiap di depan cermin.
"Apa sih!" Jani protes.
"Halah! Udah jelas, Non! Cringe parah tahu enggak sih kalian? Kalau mau backstreet yang totalitas dong! Senyum-senyuman kok pas meeting!"
Wajah Jani sudah memerah tanpa memakai blush on saat ini.
Tok.. tok.. tok..
"Jani.."
"Eh, bentar ya, Tan. Iya , Buk..."
Jani membuka pintu kamarnya.
"Rumah sakit, Jani!" Sang Ibu panik.
"Jan, ada apa?"
Jani mengabaikan panggilan yang masih tersambung pada Tristan. Dia segera mengikuti Ibunya yang berlari panik menuju halaman belakang rumah. Tentu saja Jani juga ikut panik. Apalagi saat tahu Nana sedang duduk di kursi teras belakang sambil memegangi perutnya.
"Mbak, kenapa?"
"Kepleset, Jan."
"Astagfirullah, kok bisa loh?"
Nana meringis kesakitan, "Cuma kram perutnya, Jan."
"Kram piye, Nduk?" Rini mengelus perut menantunya yang sedang hamil tiga bulan itu.
"Gimana? Wis siap? Ayo kerumah sakit," Anton, kepala keluarga di rumah itu muncul dengan raut wajah tidak kalah panik dari arah garasi.
"Mobilnya udah siap toh, Pak?" Tanya Rini pada suaminya.
Anton mengangguk.
"Kamu temenin Mbak Nana sama Bapak ya, Jan. Ibuk nanti langsung nyusul sama Mas Sigit."
"Aku ganti baju dulu, Buk," jawab Jani.
"Enggak usah, pake ini rapi kok. Ya Allah, wis Ibuk bilang jangan bantuin jemur baju, nduk," ucap Rini pada Jani, dan sedetik kemudian dia beralih lagi pada Nana. Sepertinya Rini tidak begitu sadar apa yang sedang Jani pakai saat ini.
"Buk, aku bisa tahan kok sakitnya."
"Jangan ngeyel lagi kamu, Na. Nurut!"
Nana tidak protes. Dia pun mengikuti Jani yang menuntunya. Rumah itu diserang kepanikan sepagi ini. Sangking panik dan terburu-buru, Jani tidak sempat mengganti baju tidurnya semalam dengan baju lain. Ibunya panik karena ini darurat. Jani sampai melupakan segalanya. Jangankan izin untuk absen dari kantor hari ini. Jani saja lupa membawa hpnya turut serta. Bahkan dia tidak sempat mematikan sambungan telepon Tristan.
*****
"Sa!"
"Kebiasaan! Ketuk pintu dulu susahnya emang kayak ngebalik dunia?" Aksa protes, karena masuk ke ruangannya tanpa permisi sudah jadi kebiasaan buruk temannya itu.
"Enggak penting! Anjani masuk rumah sakit, Sa!"
"Hah?" Aksa langsung berdiri.
Fery mengangguk, "Iya, hari ini dia absen enggak ada izin. Tristan bilang, pagi Anjani sempet telepon dan enggak ada kabar lagi setelah dia denger suara Ibunya Anjani ngomongin rumah sakit."
Aksa mengabaikan Fery yang telah memberikannya informasi. Dia langsung menghubungi nomor milik Jani. Berulang kali mencoba hingga akhirnya Aksa menyerah karena nomor itu terus tidak merespon. Khawatir, takut, marah, dan menyesal. Semua perasaan yang mengganggu itu berkecamuk dalam diri Aksa. Bagaimana jika ada seseuatu pada Jani? Kenapa lagi-lagi harus dia yang tahu paling akhir? Suasana ini, mengingatkannya pada kejadian paling tragis dalam hidupnya. Aksa tidak mau itu terulang lagi.
Segera Aksa meninggalkan ruangannya untuk bertemu dengan satu-satunya orang yang bisa Aksa beri pertanyaan tentang Jani. Dia sudah tidak bisa berpikir jernih. Aksa hanya ingin segera menemui Jani dan mendapatinya baik-baik saja. Seperti sebuah kebetulan, Tristan tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu ruangannya.
"Pak..."
"Tan! Jani dimana?" Karena panik, Aksa tidak bisa mengontrol suaranya. Dia sedikit berteriak, hingga menjadi pusat perhatian pegawainya yang lain.
"Rumah Sakit Asri Husada, Pak. Itu ka-, Lhoh, Pak Aksa!" Tristan memanggil atasannya yang langsung pergi begitu saja dari hadapannya. Padahal Tristan sedang perlu tanda tangan Aksa untuk dokumen persetujuan di tangannya saat ini.
"Lo kok udah tahu Jani ada di mana?" Tanya Fery.
"Tadi dia telepon pinjem hp Abangnya. Izin absen sekalian, karena Kakak iparnya yang lagi hamil muda jatoh, Bang."
"Jadi, bukan Jani yang sakit nih?"
"Bukan, eh Pak Aksa mau ke mana sih? Dokume-"
"Mampus! Aksaaaa!!!!" Fery menepuk keningnya. Dia tidak peduli pada Tristan dan berlari untuk mengejar Aksa.
Tristan yang diabaikan oleh dua orang itu hanya bisa terdiam kebingungan.