Antrian panjang pecinta bubble tea mengular karena promo yang disediakan. Di antara para pembeli, Jani adalah salah satu yang sedang menunggu giliran. Jani tidak sendiri, ada Della yang ikut mengantri di barisan sebelahnya. Mereka berdua sepakat bekerjasama memanfaatkan promo itu karena syarat batas pembelian. Brand minuman itu cukup terkenal. Jadi, satu orang hanya boleh membeli dua gelas maksimal.
"Makasih, Del," ucap Jani setelah menerima dua gelas bubble tea promo yang Della dapatkan setelah antri.
"Sama-sama, Jan. Eh, lo jadi dijemput Tristan?"
Jani mengangguk.
"Iya, waktu gue kabarin tadi, dia bilang mau langsung minum. Itu orang emang doyan banget sama bubble tea ini."
"Dia nganter lo pulang?"
Jani mengangguk.
"Bukannya beda arah?" Della menambahi pertanyaannya.
"Udah biasa Tristan itu anter jemput gue, Del."
"Oh gitu, pantes sering dateng ke kantor barengan."
"Iya gitu deh, Del. Eh, ini buat lo. Gue ambil tiga aja."
"Eh, beneran?"
"Iya, Del. Masa lo antri terus enggak dapet apa-apa."
Della tersenyum senang, "Makasih," ucapnya. Jujur, ia memang ikut penasaran seenak apa rasanya, sampai puluhan orang rela mengantri lama demi dua gelas minuman itu.
Hari ini, mereka berdua pergi untuk mengunjungi patner interior yang akan mengisi restoran milik Pak Hasani. Ada beberapa hal yang perlu ditinjau ulang. Sehingga hari ini Jani pulang tanpa mengantongi keputusan final.
Karena jam kantor sudah selesai, Jani dan Della mampir ke mall terdekat untuk makan bersama. Setelah selesai dan akan bergegas pulang, Jani melihat antrian panjang bubble tea kesukaan sahabatnya. Dia memutuskan untuk ikut mengantri setelah menelepon Tristan.
"Pulang duluan aja enggak papa, Del. Tristan juga udah otw dari tadi kok."
Jani dan Della duduk di kursi yang tersedia untuk drop point pusat perbelanjaan itu.
"Santai aja, gue temenin sampai Tristan dateng. Kan gue bawa mobil sendiri. Eh, Jan, tadi itu menurut gue udah oke loh. Kenapa lo bilang bakal balik tiga hari lagi? Kenapa enggak langsung deal aja. Toh, proyeknya udah jalan."
"Pak Hasani itu susah, Del."
"Iya sih, gue denger dari Tristan. Tapi kalau lo jelasin konsepnya, gue yakin Pak Hasani bakalan oke. Ntar gue bantuin ngomongnya."
"Bukan masalah konsep, Del. Tapi masalah dia cocok apa enggak. Kita kerja dibidang jasa, harus ikut yang client pengen, kan?"
Della setuju dengan ucapan Jani.
"Tapi makasih saran lo. Gue pasti butuh bantuan lo kok, Del. Besok gue omongin lagi sama Pak Aksa dulu. Soalnya kemaren dia juga ada rekomendasiin patner lain buat interior."
"Oke, gue selalu siap bantu. Eh, itu mobil Tristan, Jan?"
Jani mempertajam indera penglihatannya pada objek yang Della tunjuk. Benar saja, Tristan menelepon Jani beberapa detik kemudian.
"Iya, gue ke sana." Jani langsung memutus sambungan telepon itu.
"Del, gue duluan ya. Makasih hari ini ya."
"Oke, see u besok ya..."
******
Aksa menghela napasnya pasrah, saat melihat supir keluarganya sedang minum kopi bersama satpam komplek perumahaan tempatnya tinggal. Itu adalah tanda jika sang Bunda pasti sedang berkunjung ke rumahnya. Aksa sudah tahu apa tujuannya tanpa perlu menebak-nebak. Setelah memasuki pekarangan rumahnya, Aksa sudah bisa melihat Lina, sang Ibunda sedang menyirami tanamannya di balkon.
Mengetahui putra satu-satunya yang dia tunggu sudah pulang, Lina segera meninggalkan balkon untuk menemui Aksa. Wanita paruh baya yang Aksa panggil Bunda itu, tidak membiarkan putranya ganti baju lebih dulu. Karena apa yang akan Lina sampaikan sudah tertahan sejak beberapa hari lalu.
"Sa, sini-sini duduk."
Aksa menurut saja.
"Bunda kapan pulangnya dari Samarinda? Seminar Ayah lancar?" Tanya Aksa, mencoba untuk berbasa-basi lebih dulu.
"Jangan nanya yang lain dulu," Lina ingin langsung pada topik.
"Aku kan udah jelasin lewat telepon kemaren, Bun. Aksa ada urusan mendadak sebelum ketemu sama Siska," jawab Aksa.
"Oke, untuk yang itu Bunda mau enggak mau harus ngerti. Tapi yang Bunda enggak ngerti, kenapa nomornya Siska kamu blokir, Sa?"
Aksa menghela napasnya, "Emang udah enggak perlu," jawab Aksa santai.
Lina diam-diam mengelus dadanya meminta kesabaran lebih.
"Dua bulan lagi usia kamu udah kepala tiga, Sa. Bunda kan kepengen punya calon mantu. Enggak normal kamu, ha?"
"Astagfirullah, Bun."
"Ya gimana, Sa? Udah berapa kali kayak gini?Ayahmu itu juga nanyain, loh. Bunda enggak pernah cerita soal perilaku kamu sama cewek yang temen Bunda dan temen Ayah kenalin. Kalau Ayahmu yang turun tangan, kamu cuma bisa setuju sama keputusan dia. Tahu Ayahmu kayak gimana kan?"