"Saya enggak mau tahu, orang kantor ini bilang udah deal tiga hari lalu."
"Pak, kemarin saya bilang balik tiga hari lagi kalau emang deal."
"Lhoh, kamu pikir saya ini bohong? Perusahaan yang jadi patner kami itu banyak! Saya utamakan perusahaan ini karena kita pernah bekerjasama dengan baik. Sekarang saya kayak dipermainkan."
Terik matahari siang ini lebih panas dari biasanya. Selain karena Jani sedang meninjau pekerja lapangan di lahan proyek Pak Hasani, Jani semakin merasa panas saat lawan bicaranya ini marah sambil menujuk-nunjuk wajahnya. Tentu saja Jani dan lawan berdebatnya itu menjadi tontonan para pekerja di sana.
Tadi pagi, Pak Gio perwakilan dari calon patner interior proyek Pak Hasani menelepon Jani. Dia terkejut saat Pak Gio menanyakan surat kontrak kerjasama, karena beberapa properti interior sudah dipesankan. Padahal, Jani belum memberi patner itu catatat final untuk bekerjasama. Apalagi Jani sudah terlanjur menyetujui interior dari patner lain, sesuai yang Pak Hasani inginkan. Jani bingung, akhirnya dia meminta Pak Gio untuk menemuinya agar menyelesaikan kesalah pahaman ini.
"Iya, Pak, saya mewakili perusahaan berterimakasih, karena Pak Gio sudah mengutamakan kami. Tapi saya berani sumpah,Pak. Saya belum bilang deal kemarin."
"Mbak Jani, jelas-jelas orang dari tim kamu hari itu kembali buat bilang deal."
"Orang dari tim? Hari itu juga?"
Pak Gio mengangguk. "Yang dateng sama kamu," jawabnya.
Jani mulai memikirkan nama seseorang.
"Pak, saya minta maaf sekali lagi. Saya pasti akan bertanggung jawab. Karena saya kerja dengan tim, masalah ini harus saya sampaikan dulu sama tim saya."
"Saya tunggu, Mbak Jani."
"Iya, secepatnya, Pak."
Untung saja Pak Gio mau memberi waktu untuk Jani menyelesaikan masalah ini. Jani segera bergegas kembali ke kantornya setelah Pak Gio pamit undur diri. Jani masih belum percaya dengan nama yang terus muncul dalam pikirannya. Dia berharap semua adalah kesalahan. Sejujurnya, sangat berat hatinya mencurigai nama itu. Tapi kandidat kuat yang bisa Jani mintai pertanggung jawaban hanya dia, orang itu adalah Della.
******
Jani langsung menutup pintu ruang foto copy saat setelah membawa Della masuk. Teman kantornya itu terlihat bingung dengan apa yang Jani lakukan setiba dari lahan proyek clientnya.
"Ada apa, Jan?" Tanyanya pada Jani.
Jani menatap Della, "Del, sorry sebelumnya. Gue enggak maksud nuduh, tapi please lo jujur."
Della mengangguk.
"Sepulang gue sama Tristan kemaren, lo kemana?"
"Menurut lo?" Della malah balik memberi pertanyaan.
"Pulang, kan?" Tanya Jani.
Dia sangat berharap semua ini hanya salah paham semata. Della adalah orang yang selama ini selalu bersedia membantunya. Bukan hanya itu, Della juga sigap memberi solusi tentang apa yang Jani keluhkan. Jani akan sangat bersalah jika Della benar-benar bukan orang yang seharusnya bertanggung jawab atas masalah pihak Pak Gio. Tapi Jani harus menyelesaikan semuanya sekarang. Konsekuensi rasa bersalahnya pada Della akan dia pikirkan nanti.
Della terdiam, dia nampak menunggu kalimat lain dari Jani.
"Pak Gio bilang, orang dari tim datengin dia lagi buat kasih deal masalah kerjasama interior. Masalahnya, gue udah deal sama pihak yang Pak Aksa rekomendasiin."
"Oh, padahal gue udah mau re-sign. Keduluan ternyata."
"Eh, maksudnya?"
Jani terkejut mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Della.
"Kenapa masih nanya sih, Jan? Iya, gue yang balik ke Pak Gio buat ngasih keputusan final kerjasama kita."
"Buat apa lo kayak gitu itu? Bukannya gue sebelumnya udah bilang, Pak Hasani belum cocok?"
"Buat ngrepotin lo," jawab Della dengan santai.
Jani masih tidak percaya jika lawan bicaranya ini adalah orang yang biasa membantunya.
"Gue bikin salah apa sama lo?"
Della menghela napasnya kasar, "Enggak ada, gue cuma mau parasit kayak lo punya masalah dikit."