[Flash back "On"]
Sekolah, 27 Juli 2007
Devina, dalam sebuah hitungan jarak akan ada titik 0 km untuk memulai. Seperti aku dan kamu yang punya titik itu untuk memulai. Aku ingin memulai hari-hari dengan kenangan masa muda yang akan menemani perjalan kita menuju dewasa. Hatiku sudah lama padam. Dia diam meski gelap legam. Tapi kamu membuatnya mulai merindukan terang.
Devina, aku hanya sebagian kecil orang yang mengangumimu. Siang malam memikirkan bagaimana aku menulis surat ini. Walau tanpa bait romantis. Aku harap, perasaanku tetap bisa tersampaikan padamu dengan baik.
Aku mencintai kamu.
Aksa
******
Semua mata tertuju pada seseorang yang baru saja datang ke pemakaman. Dia berjalan melewati pelayat yang berjalan keluar area pemakaman itu tanpa peduli. Kakinya terus melangkah menuju gundukan tanah yang masih basah di depannya. Lututnya sudah tidak kuat menahan berat badannya. Dia akhirnya tumbang, bersimpuh dengan lututnya, dan menangis di hadapan nisan putih bertuliskan nama Devina Melania.
"Aksa!"
Bukh!
Melihat keadaan Aksa yang begitu menyedihkan, tidak membuat Riscen iba. Dia memukul wajah Aksa tanpa ampun. Meski semua orang yang tersisa di sana menahanya, Riscen tetap tidak gentar. Menghajar orang adalah keahliannya, menghabisi Aksa hanya seperti menepuk lalat kecil baginya.
"Kejadian itu nimpa Devina karena lo! Saat dia butuh lo, lo kemana? Kenapa lo ngilang! Sekarang lo tiba-tiba secara enggak tahu diri dateng ke pemakaman pacar lo yang udah mati bunuh diri!"
"Ris! Ini di pemakaman!" Berulang kali Nando mengatakan hal itu agar temannya sadar.
Sedangkan Aksa, dia sama sekali tidak melawan. Ketidak berdayaan Aksa malah membuat Riscen semakin naik darah. Tinjunya yang kesekian kalinya hendak melayang lagi. Tapi kali ini, sesorang berhasil mencegah kepalan tangannya.
"Nandana."
Riscen hampir berontak lagi. Tapi saat dia tahu siapa orang yang mencegahnya, Riscen menjauhkan kepalan tangannya yang membabi buta itu dari Aksa. Kesempatan itu digunakan Fery dan pelayat lain membantu Aksa yang sudah tidak sadarkan diri.
"Semua kehilangan, bukan lo aja!"
"Nan, kalau orang itu jemput Devina, semua ini enggak akan terjadi!"
"Lo bukan Tuhan, Ris! Gimana kalau orangtua Devina tahu lo mukul orang di depan makam anaknya?"
"Temen lo mati konyol!"
"Terus dengan lo mukulin Aksa, Devina hidup lagi? Enggak, Ris!"
Riscen menatap Aksa yang sedang disadarkan. Dia merasa sudah sangat keterlaluan. Seharusnya Riscen sadar, apa yang sudah dia lakukan akan menambah berat beban cowok yang dia pukuli itu. Rasa berduka dan kehilangan yang teramat sangat sudah membutakannya. Manik mata Riscen beralih pada tempat peristirahatan Devina. Bibirnya bergerak untuk mengucapkan, "Maaf". Lalu dia segera pergi meninggalkan area pemakaman.
Semua orang yang mengenal Devina bersedih, kehilangan, berduka dan terluka jika ingat sebab dari kematian Devina yang amat sangat mereka sayangkan.
******
"Nih."
"Maksih, Ris."
Aksa menerima minuman kaleng yang Riscen berikan padanya. Semalam, lewat pesan singkat, Riscen mengajak Aksa bertemu di lapangan bola dekat sekolah. Aksa setuju meski Fery memaksa ikut karena takut terjadi sesuatu pada temannya itu.
"Fery enggak lo aja ke sini juga?" Tanya Riscen sambil melirik Fery yang berdiri di sebelah mobil Aksa.