Jani menarik napas mengumpulkan keberanian. Dia mengatur derap jantungnya sebelum membuka pitu kayu jati di depannya. Gugup, tentu saja itu yang Jani rasakan saat mendapat telepon mendadak dari Aksa dua jam yang lalu.
"Aku ke rumahmu, ya?"
"Hah?"
"Mau ajak kamu ke rumahku."
"Hah?"
"Kenapa sih, Jan?"
"Anu, Pak. Serius?"
"Emangnya suara saya kedengeran bercanda?"
Tangan Jani yang tadinya sudah terulur untuk memegangi knop pintu rumahnya perlahan kembali ragu. Jani benar-benar dibuat salah tingkah oleh Aksa. Tapi mau bagaimana pun, dia tidak bisa menolak hari ini. Kehadiran Aksa sudah pasti karena Jani sendiri mengiyakan ajakan cowok yang sedang dekat dengannya itu.
"Di buka dong, Jan."
"Eh.."
Jani dibuat terkejut saat Nana mendahului tangannya yang ragu membukakan pintu untuk Aksa.
"Eh, Pak Aksa.." ucap Jani saat melihat Aksa sudah berdiri di depannya.
"Malam..." Aksa memberi salam untuk Jani dan Nana juga.
"Masuk, Sa. Jani udah lama nunggunya."
Jani menyenggol lengan kakak iparnya. Nana hanya tersenyum menanggapinya.
Aksa terperangah melihat meja di hadapannya penuh dengan jajanan tradisional yang menggoda matanya. Dia melirik Jani yang terlihat malu-malu. Sepertinya dia sadar, jika penyambutan keluarganya untuk Aksa terlalu berlebihan.
"Dimakan, Pak."
Aksa mengangguk.
"Orangtuamu mana?" Tanya Aksa.
"Bapak Ibuk lagi ada acara di rumah temennya," jawab Jani.
"Mas Sigit?"
"Lagi di Surabaya. Harusnya minggu ini pulang, tapi tugasnya diperpanjang sampai minggu depan, Pak."
Aksa mengangguk paham.
Jani mengulurkan piring berisi satu-satunya jajanan yang tidak asing untuk Aksa. Tentu saja Aksa ingat itu adalah klepon. Sebelum mengambilnya, Aksa melirik Jani dan mereka tertawa bersama. Mereka ingat bagaimana klepon itu membawa mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Jani dan Aksa semakin larut dalam obrolan. Semua hal seakan menjadi sebuah topik yang menarik bagi mereka. Meski banyak yang mereka bicrakan, sekali pun Jani tidak mengungkit perilaku Della yang baru saja hampir merusak kepercayaan patner pada perusahaan yang dipimpin oleh Aksa itu.
Sebisa mungkin Jani meminta Tristan untuk membantu Della mengurus masalah itu dengan rapi. Untung saja semua selesai dengan kesepakatan yang tidak merugikan siapapun. Alih-alih membicarakan hal itu, Jani lebih memilih membawa Tristan, Fery, hingga saluran toilet kantor yang sudah mampet dua hari ini ke dalam topik pembicaraannya bersama Aksa.
Beberapa kali tawa Jani dan Aksa memenuhi ruangan. Bagi pendengar seperti Nana, dia hanya bisa menebak dua orang di ruang tamu itu sudah saling nyaman satu sama lain. Nana tersenyum dalam diam. Tangannya terulur untuk memasang earphone pada telinganya. Televisi di depannya masih menyala, tapi Nana malah memilih menutup telinganya dengan mendengarkan musik sambil membolak-balikkan majalah. Tawa Jani dan Aksa ternyata mengganggunya.
******
Nana mulai bergerak dari posisinya semula. Dia berjalan menuju ruang tamu untuk memangkas jarak antara dirinya dan Aksa. Nana bisa meihat Aksa tersenyum saat menydari kehadirannya. Tanpa berkata sepatah kata apapun, Nana menempati kursi yang tadinya ditempati oleh Jani.
"Jani lagi ke kamar mandi, Na," ucap Aksa.
"Iya, tadi dia udah bilang," jawab Nana.
"Gimana keadaan kamu?"
"Makin baik, bayinya kuat," Nana tersenyum sambil memegangi perutnya.
"Oh iya, maaf saya enggak ngenalin kamu waktu itu."
"Sekarng emang udah inget?" Tanya Nana.
"Bukan inget sih, lebih tepatnya, saya udah tahu," Aksa menjawab dengan jujur.
"Kamu tahu aku siapa?" Nada suara Nana terdengar begitu senang.