Nana sedang memasak nasi goreng untuk sarapan. Beberapa kali dia terlihat mencicipi masakan yang sudah menjadi keahliannya itu. Padahal, tanpa dia coba pun semua pasti akan mengatakan masakan nasi gorengnya adalah yang terbaik. Tetapi bukan itu yang Nana mau. Dia ingin sebisa mungkin membuat nasi goreng dengan rasa yang sama seperti saat dia sekolah dulu. Karena apa? Aksa datang menjemput Jani dan akan ikut sarapan bersama.
"Na, Ibuk tadi udah masak ayam goreng. Kamu duduk aja, nanti capek."
"Enggak papa, Buk. Masa atasannya Jani ikut sarapan cuma ada ayam goreng sama nasi putih," jawab Nana.
Rini menganguk setuju, "Pacaran ya mereka?" Tanyanya pada Nana.
Nana tersenyum, "Mungkin iya, Buk."
"Ibuk sama Bapak sih udah curiga sejak dari rumah sakit itu, Na."
"Lampu hijau enggak, nih?"
"Semoga aja Aksa orang baik ya, Na."
"Aamiin."
"Pak Aksa ke mana, Buk?" Jani yang sudah siap dengan baju kerjanya, ikut masuk ke dapur.
"Tuh, introgasi, Buk."
Jani bingung dengan maksud Nana. Sampai akhirnya dia paham saat sang Ibu membombardir pertanyaan.
"Kamu pacaran sama Aksa? Sejak kapan? Kenapa enggak cerita sama Ibuk?"
"Buk, satu-satu," Jani protes.
Nana tidak bisa menahan tawanya.
"Doain aja, Buk," Nana yang menjawab sambil menata meja makan.
"Tuh, dengerin kata Mbak Nana."
Jani menemukan jawaban yang kiranya cukup tepat. Karena Ibunya sudah tidak lagi menuntut jawaban. Dia harus berterimakasih pada Nana yang membantunya. Sejujurnya, Jani sendiri bingung apa nama hubungan yang dia jalin dengan Aksa. Jani sudah mengaku jatuh cinta. Tapi Aksa belum mengatakan apapun selain kata dia tidak main-main. Jani pikir dia tidak perlu mempersulit diri dengan memikirkan status hubungan. Baginya keseriusan Aksa adalah yang terpenting.
"Eh, Na, udah selesai?"
"Udah, Buk."
"Ya udah, Jan. Ajak Aksa sama Bapak buat sarapan sini. Dia lagi di teras belakang sama Bapakmu."
"Cepet, Jan! Nanti si Aksa kena hasutan jadi pecinta burung kayak Tristan."
Mendengar itu, Jani segera mencari Aksa. Cukup Tristan yang menjadi korban hasutan Bapaknya. Gara-gara sering mengobrol dengan bapaknya itu, Tristan sekarang ikut manjadi penggemar love bird dadakan.
******
Sebenarnya, sudah sejak lama Aksa ingin berangkat dan pulang kantor bersama Jani. Tapi Aksa baru bisa menawarkan dirinya setelah makan malam kemarin. Jani sempat menolak, karena dia tidak ingin merepotkan Aksa. Jani juga membawa-bawa Tristan yang sudah biasa menjemputnya. Berdalih Jani juga akan merepotkan Tristan, Aksa menjadikan itu alasan agar Jani mengiyakan.
Niat Aksa yang hanya sekedar menjemput, berkembang menjadi ikut sarapan bersama keluarga Jani. Aksa hanya menurut, karena dia tidak punya alasan untuk menolak. Dia memang begitu bersemangat hingga datang terlalu pagi. Sekali lagi, Aksa akan berhadapan dengan seluruh keluarga Jani setelah pertemuan tidak terduga di rumah sakit satu minggu yang lalu. Untung saja tidak ada yang membahasnya. Bisa mati gaya jika mereka mengingatkan Aksa tentang kejadian konyol itu.
"Pak Aksa mau makan apa? Nasi ayam mau, ya?" Tanya Jani.
"Nasi goreng aja, Sa. Kalau ayam sama nasi terlalu berat," Nana ikut menawarkan.
"Boleh," Aksa setuju.
Aksa kebingungan saat Nana tiba-tiba mengisi piring kosong di hadapannya dengan nasi goreng itu. Padahal sebenarnya Aksa mengiyakan tawaran dari Jani. Tapi karena sudah terlanjur, Aksa hanya diam saja.
"Cukup?" Tanya Nana.
Aksa melirik Jani. Jani hanya tersenyum dan beralih pada piringnya sendiri. Aksa kemudian menatap Nana dan mengangguk, "Itu cukup," jawabnya.