Family mart memang tidak pernah sepi pengunjung. Sepulang dari kantor, Jani mengajak Aksa mampir untuk membeli beberapa cetakan kue dan alat memasak lain titipan Ibunya. Aksa menurut saja, karena dia hanya bertugas untuk mengekor. Jani saat ini tengah sibuk mencocokkan barang yang dia ambil dengan daftar barang yang harus dia beli. Beberapa kali Aksa juga ikut membantu untuk mengambil barang yang Jani butuhkan di rak paling atas.
"Aku denger ktp kamu ilang?" Tanya Aksa, setelah mengambil loyang dari tumpukan atas barang sejenisnya.
Jani mengangguk, "Iya, Pak."
"Kok bisa ilang?" Tanya Aksa.
"Hmm, jatuh kali," jawabnya.
Jani tidak berbohong. Ktpnya mungkin memang hilang karena jatuh. Tapi apa sebab ktp itu bisa jatuh, Jani engganbbercerita. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membagikan kejadian beberapa hari lalu pada siapapun.
"Aku temenin nyari lagi, ya?"
"Enggak usah, Pak. Kemarin Mas Sigit bilang mau bantu urus."
Aksa mengangguk. Sigit memang sudah bisa dipercaya untuk hal itu.
"Pak, kayaknya salah deh. Bukan loyang yang ini, coba yang itu," Jani menunjuk tumpukkan lain.
Aksa mengambilnya dengan mudah.
"Ini?" Tanya Aksa.
Jani tidak menjawab, dia malah memeriksa daftar belanjaannya lagi.
"Loyang bulet, persegi, sama cetakan apa ya ini? Tulisan mbak Nana enggak jelas di foto," protes Jani.
"Mana aku liat," Aksa mengambil hp milik Jani untuk membantu. Tapi bukannya mencoba mengeja kata yang tidak terlalu tertangkap fokus kamera itu, perhatian Aksa malah teralihkan oleh objek tulisan tangan yang terlihat jelas. Tulisan tangan yang tidak asing baginya. Aksa sempat mendengar Jani mengatakan itu adalah tulisan kakak iparnya.
Nana, lagi-lagi nama itu menggugah rasa penasaran dalam pikiran Aksa. Dia selalu dibuat bingung, Aksa merasa asing saat pertama kali melihat Nana, tapi Aksa juga merasa sangat dekat dengan beberapa hal yang ditunjukkan oleh kakak ipar Jani itu. Apa iya, ada bagian penting dari masa lalunya yang dia lupakan?
"Oh cetakan tumpeng, Pak," suara Jani membuyarkan lamunan Aksa.
Aksa mempercepat langkahnya untuk mensejajarkan diri dengan Jani. Lalu dia mengacak rambut cewek itu dengan sayang. Belakangan ini, mengacak rambut di bagian pucuk kepala cewek itu menjadi kegiatan favoritnya.
"Pak! Berantakan," meski dia protes karena rambutnya berantakan, Jani sama sekali tidak terganggu dengan itu. Dia nampak sudah terbiasa.
Aksa menatap Jani yang masih sibuk memilih barang titipan ibunya. Dia berjanji hanya akan membiarkan Jani seorang yang ada dalam pikirannya setelah ini. Akhir-akhir ini, rasa penasaran Aksa pada Nana memang sedikit mengganggu fokus hubungannya dengan Jani. Dia merasa bersalah pada Jani, karena membagi pikirannya untuk wanita lain.
******
"Ini bukan sama lagi, Sa! Tapi, persis!"
Aksa setuju dengan pendapat Fery. Sekali lagi, dia memerhatikan secarik surat di tangannya, dan foto catatan belanja tulisan milik tangan Nana. Aksa sengaja mengirim foto itu diam-diam saat bersama Jani kemarin malam. Pantas saja Aksa merasa tidak asing dengan tulisan tangan Nana. Ternyata, bukan hanya sekali dihari itu Aksa melihatnya. Bahkan dulu, dia bisa hampir setiap hari membaca tulisan surat itu sambil memikirkan siapa pengirimnya.
Seharian kemarin, Aksa dibuat tidak percaya dengan fakta yang dia temukan. Sampai dia menghubungi Fery untuk datang ke rumahnya hari ini. Agar semakin valid, Aksa harus mendengar pendapat dari satu-satunya orang yang pernah Aksa izinkan membaca surat itu. Selama sepuluh tahun lebih, Aksa selalu bertanya-tanya siapa yang telah mengirim balik surat cintanya untuk Devina, sebelum dia pindah ke Kanada. Jika jawabannya adalah Nana, pertanyaan lain pun mulai bermunculan. Kenapa Nana melakukannya? Kenapa dia seolah-olah ingin Aksa tidak bisa mencintai orang lain lagi selain Devina?
Kamu udah bunuh orang yang mencintai kamu. Apa kamu masih punya hak untuk jatuh cinta?
Meski singkat, isi surat itu sangat tajam. Tajam menggores luka dihati Aksa sampai rasa sakit sejak dia pertama membaca surat itu, masih terasa sampai sekarang. Jika si pengirim surat itu ingin Aksa terus-terusan hidup dalam masa lalunya dengan rasa bersalah, dia sudah berhasil.
"Gue sebenernya curiga sama Riscen waktu itu, Sa."
Aksa juga berpendapat tentang hal yang sama.
"Dia yang tahu lo pindah ke Kanada, kan? Setelah itu, surat ini dateng dan dia enggak pernah mau nanggepin pesan atau telepon dari lo."
"Dia juga satu-satunya orang yang paling masuk akal buat ngirim surat ini. Riwayat kejadian dia mukul sambil nyalahin lo soal kematian Devina, itu nambah bukti kuat kan?"
"Nana sama Riscen ada hubungannya sama ini?"