"Enggak mau di temenin?" Tanya Sigit pada Jani.
Jani melihat seragam polisi yang sedang kakaknya pakai. Memang tidak ada yang aneh. Wajar bagi Sigit memakai seragam itu, karena dia baru saja selesai bertugas saat menawarkan diri menjemput adiknya. Jani hanya memikirkan tempat yang ada di balik gang sempit dan gelap itu.
Warung kopi yang dia lewati seminggu lalu itu, digunakan untuk sambung ayam oleh para pelanggannya. Walaupun Sigit hanya berniat mengantarnya, orang-orang di sana pasti akan merasa panik jika ada polisi datang. Jani tidak mau ada keributan.
"Ketemu siapa sih, di gang sepi kayak gitu?"
"Temenku," jawabnya.
"Temen mana?"
"Udah, pokoknya Mas tunggu aja. Aku telepon Mas ini. Kalau aku matiin, berarti aku udah ketemu sama temenku. Kalau Mas denger aku teriak, langsung cari aku ya."
"Dih kok serem, Mas temenin aja!"
"Mas!"
"Enggak, Mas mana tega!" Sigit protes.
Jani menatap Sigit seperti pahlawan.
Sejak kecil, kakak lelakinya itu memang selalu berhasil menjaganya. Sigit adalah satu-satunya saudara terbaik yang Jani miliki. Menaruh curiga pada istri kakak lelakinya soal Aksa, membuat Jani merasa bersalah. Dia seperti melukai harga diri kakaknya sendiri. Jika dipikir lagi, untuk apa mencurigai Nana yang sudah sah menjadi istri kakaknya itu. Bahkan Nana adalah seorang calon Ibu. Jani merasa bodoh sekarang. Tidak seharusnya Jani melampiaskan rasa ingin tahunya tentang Aksa dengan mencurigai Nana. Jika dia ingin tahu, Jani hanya harus bertanya pada orang yang bersangkutan.
"Jani!"
"Eh, iya, Mas?"
"Mas anter sampai kamu ketemu temenmu."
Jani menggeleng, dia masih menolak.
"Percaya deh sama aku," ucap Jani.
Akhirnya setelah terjadi perdebatan kecil antara kakak beradik itu, Sigit setuju dan membiarkan Jani menemui temannya sendiri. Tapi dengan syarat, Jani tidak boleh memutuskan sambungan telepon meskipun sudah bertemu dengan teman yang dia cari. Jani menurut agar semuanya berjalan lebih cepat.
Sebenarnya Jani juga ingin Sigit ikut bersamanya. Gang sempit yang akan dilewatinya itu, masih nenyisakan trauma mendalam untuknya. Sesegera mungkin Jani memaksa pikirannya agar tidak memutar memori seminggu lalu di gang ini. Jani hanya ingin mencari Riscen dan segera pulang.
"Suit... Suit.. Ngapain, Neng?"
"Cewek cantik, mau ngopi sama Abang?"
Jani meremas hpnya karena takut. Tapi meski begitu, Jani masih tetap meneruskan langkahnya untuk bisa lebih masuk ke area warung kopi remang-remang itu. Mencari Riscen memang seperti bermain tebak-tebak berhadiah. Bedanya, jika Jani tidak bisa menemukan Riscen di sini, dia sudah tidak tahu harus ke mana untuk mencoba lagi.
Insting Jani membawanya ke warung kopi yang pernah Riscen sebutkan saat kejadian itu. Ketika mereka keluar gang bersama polisi, Jani melihat hanya ada warung kopi ini di sana.
"Eh.."
Jani terkejut bukan main saat tangannya ditarik seseorang. Dia hampir saja berteriak. Tapi saat tahu Riscen pelakunya, Jani mengurungkan niat itu.
"Ris.."
"Enggak ada takutnya ya lo!" Nada suara Riscen meninggi.
Jani tersenyum. Dia tidak peduli Riscen menatapnya marah saat ini. Jani terlampau senang karena instingnya tepat dan bisa menemukan Riscen lagi.
"Gue kira enggak akan ketemu lo."
Riscen tidak menanggapi ucapan Jani. Dia membawanya ke tempat yang lebih aman dan ramai. Mereka duduk di kursi kayu milik tukang tambal ban pinggir jalan yang sudah tutup. Benar, tempat ini jauh lebih baik dari pada area gang sempit tadi. Jani memutuskan sambungan telepon Sigit. Dia sudah merasa lebih aman karena ada Riscen dan merasa lebih tenang karena Jani bisa melihat mobil kakaknya sekarang.
"Ada apa?" Tanya Riscen.
"Kantor gue butuh pekerja lapangan, Ris."
"Terus?"
"Ya, lo bisa kerja di sana."
"Lo ke sini cuma mau ngomongin ini?"
Jani mengangguk.
"Nekat banget! Kemaren, anggep aja itu keberuntungan lo! Gue enggak bisa terus-terusan ada buat jadi pahlawan kesorean!"
"Ketemu sama lo lagi hari ini juga keberuntungan buat gue, Ris. Kalau enggak ke sana, gue enggak tahu ke mana lagi bisa nyari lo."
Riscen terdiam.
"Kalau lo enggak nemuin gue?"
"Gue bakalan coba lagi besok, besok sama besok. Sampai lowongan ini udah penuh diisi."
"Lo bakal nyari gue di tempat yang sama, walaupun enggak ketemu gue di hari pertama lo nyari?"
Jani mengiyakan.
"Persis."
"Hmm?"
"Gue pernah kenal cewek batu kayak lo!"
Jani menatap Riscen sambil tersenyum.
"Mau ,ya? Jangan jadi preman lagi," Jani memohon.
"Lo kira gue ini orang baik?"