Terik semakin membakar saat matahari semakin meninggi. Jarum jam sudah betemu diangka dua belas. Para pekerja proyek mulai berhamburan dari area bangunan untuk berteduh di bawah tenda tempat mereka beristirahat. Barisan para pekerja terlihat teratur saat mengantri untuk mengambil makan siang mereka. Sesekali mereka berbisik sambil melirik objek yang tidak biasa. Agaknya, makan siang hari ini berbeda dari biasanya karena disiapkan secara prasmanan.
"Dari Pak Hasani, katanya," kabar mulai menyebar dari mulut pekerja satu ke telinga pekerja lain. Hingga semua tahu jika makan siang hari ini berasal dari pemilik bangunan restoran megah yang sedang mereka bangun.
Aksa berdiri di tepi lahan proyek bersama Jani yang sedang menjelaskan beberapa detail bangunan pada clientnya. Bukannya ikut mendengarkan, Aksa malah sibuk memerhatikan seseorang yang nampak menatap gerak-gerik Jani sedari tadi. Seseorang itu berada bersama para pekerja di tenda istirahat. Tidak nyaman dan curiga, Aksa mulai berjalan untuk mendekati orang yang terlihat masih menatap Jani dari kejauhan sana.
"Mau kemana, Pak Aksa?" Tanya Pak Hasani.
Jani juga ikut menoleh dan menatap Aksa dengan tanya.
"Mau ngobrol-ngobrol sama pekerja lapangan, Pak," jawab Aksa.
"Oh, iya nanti saya nyusul sama Anjani."
Aksa kemudian melanjutkan langkahnya. Jarak antara dirinya dan orang yang menyita perhatiannya itu semakin dekat. Tapi tiba-tiba, Aksa berubah pikiran. Alih-alih ingin bertanya kenapa terus menatap Janinya, Aksa malah terpaku karena merasa orang itu tidsk asing baginya. Beberapa saat Aksa masih ragu dan belum yakin apakah benar dia mengenal orang itu. Ingatannya masih mencoba menenukan jawaban. Sampai pada akhirnya, sebuah nama muncul dan membuat Aksa kini berdiri tepat di hadapan salah satu pekerja proyek itu. Merasa pandangannya dihalangi seseorang, pekerja yang sedang duduk beristirahat itu mendongak untuk menatap pelaku. Jelas, tatapannya mengisyaratkan rasa tidak suka.
"Riscen?"
"Aksa?"
Meski tidak berteman dekat, dan tidak pernah saling menghubungi selama sepuluh tahun lebih. Faktanya, mereka berdua masih saling mengenal satu sama lain. Hubungan antara makhluk hidup yang aneh.
Mereka berdua sama-sama kikuk. Bertanya pun hanya sebatas saling menanyakan kabar. Lalu kemudian, dua orang yang lama tidak bertemu itu memilih untuk saling diam. Aksa maupun Riscen makah terpantau sedang memerhatikan objek yang sama di tepi lahan proyek. Ya, objek itu adalah Jani. Mereka masih betah saling diam sampai jam istirahat makan siang sudah selsesai. Para pekerja harus kembali pada tugasnya masing-masing. Begitu pula Riscen yang harus melanjutkan pekerjaannya.
"Gue balik kerja dulu," ucap Riscen.
Aksa mengangguk. Dia masih tidak percaya bisa bertemu dengan orang yang dicarinya selama ini. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin Aksa sampaikan pada Riscen. Tapi itu terpaksa harus tertahan karena waktu dan tempat yang menurutnya kurang tepat.
"Ris, gimana kerjanya?" Langkah Riscen terhenti saat Jani menyapanya.
"Nyusahin!" seperti biasa, Riscen menjawabnya dengan dingin.
"Kamu kenal dia, Jan?" Tanya Aksa yang bingung melihat kedekatan Jani dan Riscen.
Riscen ikut menoleh karena merasa sedang dijadikan topik pertanyaan.
"Kenal, Pak. Aku yang bawa Riscen kerja di sini," jawab Jani.
Aksa sedikit terkejut saat Jani memanggil nama Riscen dengan nyaman, seolah mereka sudah lama saling mengenal.
"Ya udah, kita makan siang dulu, ya. Tadi kamu bilang belum sarapan, kan?"
Jani mengangguk.
Riscen yang masih berada di sana tersenyum.
"Kalian pacaran?" Tanyanya.
Jani dan Aksa terdiam. Mereka berdua hanya saling melempar pandang tanpa ada niat untuk berebut menjawab pertanyaan mendadak dari Riscen. Jani diam karena memang dia belum tahu status hubungannya bersama Aksa, sedangkan Aksa diam karena merasa Riscen bukan orang yang perlu tahu hubungannya dengan Jani.
Riscen yang sepertinya sudah paham situasi, dia hanya menganggukkan kepalanya tenang. Lalu memilih pergi untuk melanjutkan pekerjaannya tanpa menunggu jawaban dari dua orang itu.
******
"Riscen alumni Sma Merdeka juga, Pak?" Jani terkejut mendengar pernyataan Aksa.
"Pernah sekolah di sana, dia cuma sampai kelas sepuluh semester awal, Jan," Aksa memperbaiki.
"Astaga, sempit ya semesta."
"Kamu gimana bisa kenal Riscen?"
Jani menelan ludahnya.
"Hmm, ya kenal gitu aja, dia cari kerja."
Benar kata orang, sekali berbohong, kita akan melakukannya terus menerus.
Aksa tidak merespon dan memilih untuk fokus pada kemudi mobilnya. Mereka sedang dalam perjalanan kembali ke kantor. Sebenarnya, Jani bisa pulang tanpa perlu menunggu jam kerja kantor berakhir. Karena hari ini dia harus datang lebih pagi untuk menemui Pak Hasani. Tapi Jani menolak dengan alasan akan pergi membeli kado bersama Tristan sepulang kantor.
"Jani," Aksa memanggil si pemilik nama sebelum dia turun dari mobilnya.
"Hmm?"
"Riscen sama aku itu seumuran. Kenapa kamu manggil dia kayak gitu, tapi sama aku enggak?"
"Kayak gitu gimana?"
"Kamu manggil nama panggilannya aja."
Jani masih diam sambil menatap Aksa. Seakan dia menunggu Aksa mengatakan apa yang diinginkannya dengan jelas.
"Aku juga mau kamu panggil Aksa aja, Jan. Itu lebih nyaman didenger."
"Kamu atasan saya, Pak. Gimana bisa aku manggil, Pak Aksa gitu?"
Aksa menghela napasnya.
"Tapi kamu orang yang paling deket sama aku saat ini."
Jadi itu nama hubungan Jani dengan Aksa sekarang. Orang yang paling dekat saat ini, itu bukan status yang sebenarnya ingin Jani dengar.
"Kalau lagi enggak di kantor, kamu manggil aku Aksa, gimana?"
Jani nampak berpikir.
"Setuju, Aksa," jawab Jani sebelum dia keluar dari mobil milik Aksa.