Semua orang pasti memiliki cinta pertama. Setiap manusia juga pasti punya seseorang yang mereka cintai secara diam-diam. Jika memiliki pilihan, menyatakan perasaan adalah hal yang harus dilakukan ketika jatuh cinta. Tapi, kenapa banyak orang memilih diam membiarkan perasaannya bergerilya? Karena sebagian mereka merasa akan jauh lebih baik memendam karena diungkapkan pun tidak akan membuatnya berhasil.
Nana memerhatikan bunga segar yang ada di kamar Jani. Manik matanya kemudian beralih untuk menatap note kecil bertuliskan nama pengirim booklet bunga yang sudah dipindah ke dalam vas kecil berisi air. Sudut bibir Nana tersenyum membentuk sebuah lengkung bulan sabit. Saat dia melihat objek menarik lain dari jendela kamar Jani. Di luar, sebuah mobil yang belakangan ini menjadi cukup familiar baru saja masuk ke dalam pekarangan rumahnya.
"Mbak?"
Nana menoleh saat namanya terpanggil. Dia tersenyum melihat Jani yang terlihat sangat segar setelah mandi.
"Mbak kok di kamarku?" Tanya Jani, manik matanya tertuju pada sebuah objek asing. Seperti ada yang berbeda dari meja nakas kamarnya.
"Mbak pindahin bunganya ke vas. Sayang kalau layu, Jan," jawab Nana.
"Oh." Jani menanggapinya singkat.
Dia berjalan menuju lemari bajunya seperti tidak terjadi apapun. Sebenarnya, bukan hal wajar masuk ke kamar orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Tapi Jani merasa Nana bermaksud baik dan masuk akal. Tidak ada alasan untuk Jani mempermasalahkannya.
"Aksa udah dateng, Jan."
"Lhoh, enggak ada yang bukain pintu dong?"
Mereka baru ingat jika rumah sedang kosong. Anton dan Rini pergi sejak selepas subuh. Sedang Sigit belum pulang sejak semalam.
"Kamu siap-siap aja biar cepet, Mbak yang bukain pintunya," ucap Nana mencegah Jani saat adik iparnya itu akan turun untuk membuka pintu.
Jani setuju, karena dia juga perlu bersiap. Dia tidak mau Aksa menunggu lama. Seperti hari-hari biasanya, Aksa memang datang untuk mengajak Jani berangkat ke kantor bersama. Kedekatan Jani dan Aksa saat ini sudah dianggap maklum oleh orang-orang di sekitar mereka berdua. Pemandangan Jani dan Aksa yang seperti tidak bisa dipisahahkan belakangan ini, juga bukan hal heboh lagi di kantor.
Jani menatap bayangannya di cermin sambil memikirkan kembali titik nol yang Aksa bicarakan. Apa benar titik itu ada? Benarkah Aksa ingin berdiri bersama Jani di titik itu? Atau titik nol yang Aksa bicarakan hanya semacam kata ganti kalimat harapan palsu? Jujur saja, Jani mulai merasa hanya terbawa perasaan sendiri saat menerima perlakuan baik Aksa. Jani terkadang bosan dengan hubungannya yang terkesan sangat bertele-tele Ironisnya, ketika Jani ingin bersikeras mengakhiri pengharapannya, dia malah semakin terbiasa karena hatinya sudah terlanjur menerima kehadiran Aksa. Setiap hari Jani ragu, tapi setiap hari pula dia menanam rindu. Jani dibuat bingung oleh kemauan hatinya sendiri.
******
"Jani masih siap-siap, mau sarapan dulu? Nasi goreng?" Nana tersenyum saat menawarkan menu sarapan untuk Aksa.
Bagi Nana, itu hanya senyum biasa layaknya agar pemilik rumah dikatakan ramah pada tamu. Tapi tidak demikian untuk Aksa. Dirinya malah semakin tidak nyaman menahan setiap pertanyaan saat melihat Nana.
"Na?" Panggilnya.
Nana menoleh, dan tersenyum sekali lagi. Seolah dia sudah sangat menantikan suara Aksa memanggilnya.
"Ya?" Jawabnya.
"Saya cinta sama adik ipar kamu, Na," Aksa tiba-tiba melenceng dari topik.
Senyum Nana perlahan luntur.
"Saya tahu kok. Tapi apa hubungannya sama saya?"
"Kamu sudah bunuh orang yang mencintai kamu. Apa kamu masih punya hak untuk jatuh cinta?"
Aksa bisa melihat raut wajah Nana mulai berubah. Seolah ketenangan yang dia bangun sedari tadi telah rusak saat mendengar kalimat Aksa.
"Surat yang kamu tulis membekas sampai saya bisa hafal di luar kepala," Aksa menambahi.
Lawan bicaranya itu masih membisu.
Tiba-tiba Nana tersenyum. Tapi kali ini senyumnya berbeda. Karena air matanya ikut menetes.
"Kenapa kamu harus dateng sama Jani sih, Sa?"
"Kenapa gimana?"
"Saya enggak suka, karena saya tahu Jani adalah orang yang tepat buat kamu."
"Na?"
"Ya, saya semakin benci karena kamu bisa jatuh cinta lagi sama orang yang tepat."
"Karena kamu masih merasa saya sebab kematian Devina? Na, tanpa perlu kamu salahkan, saya sudah menganggap diri saya satu-satunya orang yang paling pantas disalahkan."
"Tapi kepergian Devina harus kita jadiin kenangan kan, Na? Bukan malah jadi ajang saling menyalahkan dan balas dendam," Aksa menambahi.
Nana mengusap kasar air mata yang sudah membasahi pipinya.
"Devina? Untuk apa saya repot-repot tersiksa buat benci sama kamu demi Devina, Sa?"
Aksa diam, dia menatap lawan bicaranya dengan penuh tuntutan penjelasan.
"Saya punya alasan sendiri!"
"Apa?"
"Kamu bener-bener enggak inget saya, Sa?"
Aksa menggeleng ragu, "Jangan buat semakin sulit, Na. Bilang apa kesalahan saya dan kita bisa selesaikan ini sama-sama."
Nana kembali tidak bisa membendung air matanya.
"Kamu melukai saya karena memaksa saya untuk mengakhiri sesuatu yang belum sempat saya mulai."
"Apa?"
Itu bukan pertanyaan dari Aksa. Dua orang yang sedang membicarakan hal yang serius itu larut dalam suasana. Mereka lupa, bukan hanya ada dua orang di rumah itu. Jani memang tidak datang disaat yang tepat agar bisa mengetahui semua yang dibicarakan Aksa dan Nana. Tapi sebagian yang Jani dengar cukup membuatnya mengerti. Aksa dan Nana memang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Apa yang Aksa akhiri, Mbak?" Tanya Jani.
"Anjani," Aksa mencoba mendekati Jani.
"Diem, Sa!"
"Mbak Nana jawab! Apa yang enggak aku tahu?"
"Cinta pertama," Nana memejamkan matanya seolah butuh banyak keberanian untuk mengucapkan jawaban itu.
Jani menatap Aksa dan Nana secara bergantian. Perlahan kakinya mulai mundur. Aksa yang mengetahui jika Jani salah paham dengan jawaban Nana, masih berusaha untuk menjelaskan.
"Kamu salah paham, Jan," ucap Aksa.
"Aku belum bilang apa-apa, gimana kamu bisa tahu aku salah paham?"
"Bener kata Aksa, Jan... Kamu salah paham," Nana secara tidak terduga ikut berusaha meluruskan kesalah pahaman Jani.
Jani sudah di ujung pengertiannya. Dia tidak mau peduli dengan kesalah pahaman apa yang Aksa dan Nana bicarakan.
"Cukup aku aja yang tahu kejadian ini. Kalau sampai Mas Sigit tahu, aku enggak akan maafin kamu, Mbak," ucap Jani sambil mengambil langkah untuk pergi. Jani sudah tidak sampai hati membayangkan kakaknya tahu apa yang terjadi hari ini.
"Anjani!" Aksa menahan tangan Jani agar tetap mau tinggal dan membicarakan semuanya.
"Lepas, Sa!"
"Enggak!"
"Kenapa? Apa alasan kamu nyuruh aku tetep tinggal?"
"Kamu salah paham," jawabnya.