Kepergiannya, jadikan itu kenangan. Jangan jadikan sebuah alasan untuk saling salah menyalahkan. Jangan jadikan ajang untuk balas dendam. Begitu kiranya apa yang sekarang ada dalam pikiran tiga orang di meja cafetaria itu. Aksa, Riscen dan Nana.
"Kenapa gue harus ada di sini sih?" Riscen protes.
"Lo kenapa mau?" Nana ganti bertanya.
Aksa hanya tersenyum, "Kamu sama Jani gimana, Na?"
Nana menghela napasnya, "Dia biasa aja seolah enggak terjadi apa-apa kalau lagi ada Ibuk, Bapak atau Mas Sigit. Selebihnya, Jani banyak diam dan menghindar dari percakapan sama saya."
"Terus?" Tanya Aksa.
"Nanti, sekarang saya mau selesaiin semuanya sama kamu dulu, Sa."
Aksa mengangguk. Sedangkan Riscen hanya akan menjadi pendengar. Entahlah, Riscen sendiri juga tidak tahu alasan spesifik kenapa dia bisa mau-maunya bergabung bersama mereka berdua.
"Sa.." panggil Nana.
"Iya?"
"Saya mau ngulang kalimat saya ditelepon kemaren. Saya minta maaf atas semua yang udah saya lakuin ke kamu, Sa. Soal surat itu, soal saya yang egois karena minta pertanggung jawaban atas kegagalan cinta pertama saya ke kamu, dan atas masa lalu yang baru bisa selesai sekarang."
Aksa mengangguk, "Saya juga, Na. Maaf terlalu kaku sampai hanya bisa nyalahin surat itu sebagai pengacau hidup saya. Harusnya saya intropeksi diri, kalau pengacau hidup saya yang sebenarnya adalah pikiran buruk saya."
"Kalian kenapa sih pake saya kamu, hiperbola!" Riscen protes sekali lagi.
Aksa dan Nana kemudian tertawa.
"Seperti yang gue bilang..."
"Nah gitu dong, lebih enak gue dengernya," Riscen memotong kalimat Nana.
"Kok diem? Terusin," ucap Riscen.
Nana melirik Riscen malas. Tapi dia kemudian meneruskan kalimatnya yang sempat terpotong.
"Seperti yang gue bilang ke lo, Sa. Perasaan gue sama lo udah enggak ada sama sekali. Gue merasa harus egois karena enggak terima elo dapetin Jani. Cewek yang tepat buat lo."
Aksa melirik Riscen yang berlagak seolah tidak mendengar apapun.
"Mungkin ada baiknya kalau gue kasih Jani waktu buat mikir dua kali, Na."
"Kenapa? Gue berharap besar hubungan kalian masih bisa diperbaiki setelah ini. Sa, gue bakalan bantu jelasin ke Jani. Iya kan, Ris?"
Riscen hanya menaik turunkan bahunya santai.
"Bukan masalah penjelasannya. Tapi masalah yang jelas-jelas yang lebih pantas buat Jani," sekali lagi, Aksa melirik Riscen yang masih tidak peduli.
Nana yang menyadari hal itu mulai menerka-nerka sesuatu.
"Kalian saingan?" Tanyanya.
Riscen menghela napasnya kasar, "Enggak! Saingan itu ada yang kalah sama yang menang. Kalau udah tahu pemenangnya itu bukan saingan, kan?" Katanya.
Nana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lusa, gue mau pergi..."
"Lagi? Lo kalau ada masalah masih gitu ya, Sa?" Tanya Riscen tidak suka.
"Sa, lo enggak harus pergi. Gue kenal Jani kok. Dia kalau marah emang keras kayak batu. Tapi kalau lo nunjukkin keseriusan lo, Jani bakalan luluh juga."
Aksa tersenyum, "Enggak gitu. Lusa, gue emang ada kerjaan di luar kota selama kurang lebih satu minggu. Jani juga seharusnya ikut sama tim. Tapi Tristan bilang, kayaknya Jani enggak mau ikut."
"Syukur deh. Gue udah siap-siap mau gebukin lo kalau sampai beneran ngulangin yang dulu."
"Ris!" Nana menyenggol bahu Riscen.
"Enggak papa, Na."
"Mau gue bantu bujuk Jani biar mau berangkat?" Tanya Nana.
Aksa menggeleng, "Jangan."
"Sayang..."
Semua mata ketiga orang itu menatap sumber suara. Ternyata Sigit sudah datang untuk menjemput istrinya. Sebelumnya, Nana mengatakan pada Aksa dan Riscen kalau Sigit sudah mendengar semua darinya. Mereka tidak perlu sungkan atau tidak enak hati. Suaminya itu mengerti dan mendukung Nana untuk menyelesaikan apa yang belakangan ini mengganggu pikirannya.
"Udah selesai?" Tanyanya.
Nana mengangguk dan bersiap untuk pulang.
"Enggak ngopi dulu, Bang?" Tanya Riscen.
Sigit menatap Riscen dengan tatapan asing.
"Oh, ini Riscen, temen Sma ku juga," ucap Nana.
"Riscen."
"Sigit."
"Mirip Jani ya, Sa?"
Aksa memutar bola matanya malas.
Sigit hanya tersenyum menanggapinya.
"Kita pulang dulu ya, mau mampir bidan soalnya," pamit Nana.
"Duluan ya, Sa, Ris," Sigit juga berpamitan sebelum pergi.
Sekarang hanya tersisa dua orang di meja itu. Aksa menyeruput minuman panas yang sudah terasa dingin karena dia abaikan sedari tadi. Sedangkan Riscen sibuk bermain-main dengan hpnya. Mereka berdua seperti saling menghindar, tapi juga tidak bisa pergi karena sama-sama saling ingin mengatakan sesuatu.
"Kemaren lo ngomong apa aja sama Jani, Sa?" Riscen akhirnya bersuara.
"Hal yang buat Jani kecewa," jawab Aksa.
"Lo cerita soal Devina ke Jani?"
Aksa menggeleng, "Gue kira lo udah cerita sama dia," jawabnya.
"Enggaklah! Bukan hak gue, Sa."
Aksa kemudian tersenyum. Dia mengingat-ingat apa yang dikatakan Jani padanya.
"Jadi dia ngomong kayak gitu karena enggak tahu."