"Buk..."
"Eh, udah mau berangkat, Jan?"
Jani tersenyum sambil berjalan mendekat pada Ibunya. Sebenarnya, sudah lama Rini menunggu Jani datang padanya. Belakangan ini, Rini merasa ada yang berubah dari Jani. Tawanya berkurang, cerah ceria wajahnya mulai jarang terlihat, dan binar mata Jani pun redup. Sepulang kantor Jani hanya sekedar menyapa dan langsung masuk kamar. Begitu pula saat berangkat bekerja. Tapi Rini tidak bertanya apapun pada Jani, karena Rini tahu betul putri bungsunya itu tidak akan mau bercerita jika diminta.
"Eh kenapa ini?" Rini bertanya saat Jani tidur di pangkuannya.
"Enggak berangkat sekarang?"
Mendengar itu, Jani melirik jam dinding ruang tengah.
"Masih jam enam lebih dikit," jawab Jani.
Rini tidak menjawab dan membelai surai putrinya itu.
Jani merasa nyaman sekali, "Buk, bukannya masalah itu cuma bisa kita selesaiin sendiri?"
Rini menatap putri bungsunya yang sudah merubah posisi. Karena ingin mendengarkan Jani bercerita, Rini mematikan televisi yang sedang memutar siaran ulang acara dakwah.
"Kalau ada yang bilang butuh aku, apa aku harus percaya?" Tanya Jani.
"Hidup itu kayak sungai, Jani."
"Eh?"
"Air sungai terus mengalir melewati batu-batu dan terus menerjang meski ada sesuatu yang menghalangi. Itu ibarat seseorang yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Terkadang, memang lebih baik hidup dengan menghadapi masalah tanpa berbagi. Tapi nduk, kadang sungai itu bisa mampet dan enggak bisa mengalir. Disaat itu sungai butuh bantuan. Meski tidak meminta jalan keluar. Setidaknya jika ada yang membantu, sungau akan mendapat celah untuk dia kembali mengalir lagi sedikit demi sedikit. Jadi bisa saja kamu menghadapi masalahmu sendiri, tapi kamu butuh orang untuk membantu bangkit, nduk."
Jani terdiam, dia meresapi nasehat Ibunya.
"Kenapa? Aksa?"
"Kok Ibuk tahu?"
Rini tersenyum, "Ya kamu kira Ibuk enggak pernah muda?"
Jani mendengus.
"Dilepas aja, kalau dia kembali berarti dia punya kamu."
Jika apa yang kamu lepas kembali, maka itu akan menjadi milikmu selamanya. Kata-kata itu familiar bagi Jani. Mungkin karena memang sering digunakan untuk menghibur orang-orang yang sedang patah hati.
******
Jani memasang indera pengelihatannya sefokus mungking demi mencari sosok yang dia cari lewat unggahan foto pada akun instagram milik Tristan. Berharap sosok yang sedang dia cari itu ikut tersenyum memamerkan kebahagiaannya bersama orang-orang yang sedang berpose dengan pemandangan Candi Borobudur. Foto pertama, kedua, sampai ke foto terakhir hingga Jani mengulanginya lagi, berulangkali Jani memastikan, sebanyak itu dia diyakinkan bahwa tidak ada Aksa di antara mereka.
Helaan napas Jani terdengar kasar. Dia meletakkan benda persegi itu begitu saja. Ini sudah hari ketiga timnya bersama Aksa dan Pak Hasani berada di Jogja. Meskipun Jani tidak ikut, dia masih berkomunikasi jika memang ada hal yang perlu dibicarakan mengenai desainnya. Tapi sampai hari ini, komunikasi itu hanya sebatas pesan singkat lewat aplikasi percakapan. Harusnya Jani bersyukur tidak ada hal yang perlu dibicarakan secara serius lewat telepon. Itu artinya, proyek kedua ini berhasil. Anehnya, Jani malah beraharap ada hal darurat yang membuat Aksa menghubunginya.
"Kalau pikirannya jalan-jalan sampai Jogja, kenapa enggak ikut aja?" Della meletakkan secangkir teh hangat di atas meja Jani.
Jani sedikit terkejut. Pasalnya, ini kali pertama Della mengajaknya bicara setelah kesalah pahaman yang terjadi di antara mereka beberapa waktu lalu.
"Makasih," ucap Jani canggung.
"Gue yang harusnya makasih sama lo, Jan. Makasih masih kasih gue kesempatan dan enggak kasih tahu Pak Aksa soal kelakuan gue."