"Yayasan Rumah yang Tercinta"
Papan nama itu menyambut Jani saat dia dan Riscen memasuki sebuah pekarangan sebuah bangunan. Jani memang bilang akan ikut Riscen ke mana saja tanpa protes. Tapi tempat ini, asing sekali untuknya. Walau penasaran, Jani tidak bisa langsung bertanya karena Riscen masih sibuk mengatur letak parkir mobilnya.
Dari balik kaca jendela mobil, Jani bisa melihat wanita paruh baya berjilbab keluar dari dalam bangunan berornamen kayu itu. Manik matanya terus menatap mobil Riscen sambil tersenyum, seolah sudah menunggu-nunggu si pemilik mobil keluar dari sana.
"Ini di mana?" Akhirnya Jani bertanya saat Riscen mematikan mesin mobil.
"Yayasan panti asuhan keluarga gue," jawab Riscen.
"Itu?" Jani menunjuk wanita paruh baya yang masih belum merubah pisisnya sama sekali.
"Mama," jawabnya kemudian turun dan Jani mengikuti.
Senyum wanita paruh baya yang diakui Riscen sebagai ibunya itu semakin mengembang saat melihat Jani.
"Siapa?" Tanyanya.
Jani tersenyum.
"Ris!" Sang Ibu menyenggol anaknya yang malah diam.
"Manja banget suruh gue yang jawab," Riscen melirik Jani.
"Eh kamu, ya."
"Apa sih , Ma!"
Jani mendengus menyaksikan pemandangan ibu dan anak itu.
"Jani, Tante" akhirnya Jani memperkenalkan dirinya sendiri.
"Panggil Mama Rianti aja, ya."
"Eh?"
"Enggak usah kaget, semua yang di sini juga manggil gitu," ujar Riscen sambil berlalu masuk ke dalam.
"Ricen emang gitu, tapi aslinya penyayang banget kok," Rianti membela anaknya.
Jani tersenyum.
Ternyata Riscen mengajaknya ke yayasan pantu asuhan keluarganya itu bukan tanpa alasan. Saat Jani masuk, anak-anak dan para pengurus sudah duduk bersila dengan rapi beralaskan karpet biru. Mereka mengelilingi makanan yang sudah tersedia di tengah-tengah seakan menu makanan itu adalah bintang hari ini. Tapi sebenarnya, bintang yang sesungguhnya adalah Riscen. Jani melupakan sesuatu dan baru ingat ketika salah satu anak berlari memeluk Riscen.
"Selamat ulang tahun Pak Riscen," ucap gadis kecil berpita ungu itu.
Wajar Jani lupa, dia hanya sekali melihat data diri Riscen.
"Terimakasih."
Jani membulatkan bola matanya. Dia tidak percaya jika Riscen yang saat ini tengah membalas pelukan gadis kecil itu, adalah Riscen yang pernah menghajar dua orang sekaligus tanpa mendapat luka yang berarti. Jani memang belum lama mengenal Riscen, tapi pikirannya terus bertanya, "Apa iya, ini Riscen yang gue kenal?"
*****
Jani meletakkan dengan hati-hati piring terakhir yang telah selesai dia cuci. Karena merasa telat dan tidak sempat membantu apapun, Jani akhirnya memaksa agar diizinkan mencuci piring sisa-sisa acara. Dia tidak sendiri, karena dibantu oleh Rianti dan pengurus lainnya.
"Calon mantu, Ma?" Tanya salah satu pengurus di sana.
Jani yang menjadi maksud pertanyaan itu hanya bisa pura-pura tuli.
"Temen doang katanya," jawab Rianti.
"Jani, jangan mau temenan sama Riscen," Rianti menambahi.
Kali ini Jani tidak bisa berlagak tuli karena namanya jelas disebut.
"Kenapa, tan? Eh, Ma?" Jani segera memperbaiki panggilan untuk Rianti saat sadar.
"Ya maunya dihalalin dong, Mbak Jani," pengurus itu menimpali sebelum pergi meninggalkan ruang cuci piring.
Jani cengengesan.
Sekarang hanya tersisa Jani yang tersipu dan Rianti disana.
"Gimana bisa kenal Riscen, Jan?"
"Panjang tante ceritanya, tahu-tahu kami udah temenan aja," jawab Jani, karena dia tidak mungkin bilang jika Riscen pernah hampir merampoknya.
"Kayaknya kamu belum biasa ya manggil Mama."
"Eh iya, maaf, Ma."
Rianti Tersenyum sambil membelai rambut Jani seperti anaknya sendiri.
"Kamu bisa manggil apa aja, Jani. Mama dulu juga pernah punya anak cewek. Kalau lahir dengan selamat, pasti sudah seusia kamu."
"Adeknya Riscen, Tan?"
Rianti mengangguk.
"Oh iya kamu bilang cerita kenalan kamu sama Riscen panjang?"
"Iya, Tan."
"Tapi walau panjang, Mama bisa tebak gimana kamu nilai Riscen buat pertama kali ketemu. Kamu pasti bilang dia preman kan?"
Jani sedikit terkejut, tapi dia juga spontan mengangguk. Melihat hal itu, Rianti tertawa.
"Riscen emang sok jagoan sejak kecil. Pindah sekolah udah kayak hal biasa dulu."
"Karena berantem?"
Rianti mengangguk, "Tapi dia enggak salah. Riscen enggak terima segala jenis ketidak adilan, itu traumanya karena sering liat Mama kena pukul almarhum Papanya."
Jani menyimak cerita Rianti.
"Mama seneng dia mau bawa temennya ke sini. Riscen bangun yayasan ini sejak tamat sekolah, Jan. Walau kadang kelihatan kayak preman, tapi Riscen orang yabg tulus."
"Eh, Riscen yang bangun? Bukannya ini yayasan keluarga, Ma?"
Rianti menggeleng.
"Ini yayasan punya Riscen, Jani. Sejak semua ini di bangun, dia enggak pernah bawa temennya ke sini. Kamu yang pertama, kayaknya kamu ini spesial buat Riscen."
Jani terdiam, sisi tidak terduga Riscen ternyata menarik. Tapi Jani juga bingung, orang sedermawan Riscen, untuk apa merampoknya? Merampok ibu-ibu tidak berdaya. Tidak mungkin untuk membiayai yayasan, kan?" Jani segera menggelengkan kepala agar pikiran negatifnya menghilang.
"Apa yang spesial? Martabak?" Suara Riscen membuat Jani dan Rianti menoleh bersamaan.
"Jan, ayo pulang udah sore," ajak Riscen.
"Oh iya," jawab Jani, lalu dia berpamitan pada Rianti, "Aku pulang dulu ya, Ma. Makasih makanannya enak banget."
"Sama-sama, sering-sering ikut Riscen main ke sini ya."
"Jani kerja, Ma," Riscen protes.
"Perjalanannya cuma dua jam dari tempatmu, deket ya Jani?"
"Eh, iya," Jani cengengesan.
"Tuh Jani aja mau."
"Dia enggak bilang mau, Mama aja yang pengen. Ya udah deh, Riscen pulang dulu. Mama nginep sini, kan? Besok aku kirim supir."
"Supir?" Untung saja dia mengungkapkan rasa terkejutnya dalam hati. Jani heran, seberapa tidak main-mainnya cowok yang dia kira preman diawal pertemuan mereka berdua.
******
Riscen sesekali melirik Jani yang lebih diam dibandingkan perjalanan mereka sebelumnya. Tadi pagi, Jani selalu bertanya ini itu sampai Riscen harus protes karena telinganya sakit. Tapi kali ini, Jani lebih memilih untuk bermain hp daripada bertanya ke mana Riscen akan membawanya. Padahal jalan yang mereka tempuh saat ini bukan perjalanan untuk pulang. Sepertinya Jani belum menyadari hal itu sampai akhirnya dia sadar saat melihat laut di perjalanan mereka.
"Katanya pulang?" Tanyanya.
"Lo diem aja, kirain enggak protes mau gue ajak ke manapun."