Aksa membiarkan asap dari dalam cangkirnya mengudara. Dia memang belum berniat meminum kopi pesanannya yang baru beberapa menit lalu singgah di meja kamar. Aksa masih sibuk membolak-balikkan lembar demi lembar kertas desain proyek yang sudah dimulai hari ini. Tidak ada yang berbeda dari desain itu. Desain yang ada di tangannya saat ini masih sama dengan yang sebelumnya. Tapi sebenarnya, perhatian Aksa lebih terfokus pada sebuah nama disetiap lembaran itu. Ya, nama si pembuat desain, Anjani Prima Arundari.
Kini, perhatian Aksa beralih pada benda persegi yang dia letakkan bersebelahan dengan cangkir kopi yang asapnya sudah tidak terlihat lagi. Sebagaimana kopi itu dingin karena dia abaikan, hpnya juga terasa dingin karena sejak kemarin sebisa mungkin Aksa tidak mau menyentuhnya.
Lagi-lagi meski tangannya sudah memegang hpnya dengan sempurna, Aksa kembali mengurungkan niat untuk menghubungi salah satu nama dalam kontaknya. Jika ditanya, batin Aksa sudah berkali-kali protes karena ingin menghubungi Jani. Tapi mengingat Jani yang masih belum bisa menerimanya, membuat Aksa harus menepikan hasrat itu demi membuat Jani tidak keberatan.
Raut wajah Aksa mendadak berubah panik ketika layar hpnya menunjukkan seseorang sedang berusaha menghubunginya. Saat Aksa membaca nama kontak yang muncul, raut wajahnya kembali tenang. Bahkan dia menunjukkan ekspresi tidak tertarik sama sekali untuk menjawab panggilan itu. Tapi Aksa harus tetap mengangkatnya, mungkin saja ada hal penting yang harus dia ketahui, karena itu telepon dari Pak Hasani. Clien yang telah memfasilitasi semua akomodasi selama Aksa dan tim perusahaannya berada di Jogja.
"Halo, Pak Hasani, ada yang bisa saya bantu?"
[Oh enggak Pak Aksa, saya cuma kasih kabar kalau istri saya mau ajak makan malam Bapak sama Tim.]
"Malam ini, Pak?"
[Iya, Pak. Gimana? Bisa ya, kan lusa udah balik ke Jakarta.]
"Bisa, Pak, saya sampaikan sama tim nanti."
[Pak Aksa ikut dong. Kemarin saya denger Pak Aksa enggak ikut waktu keliling Jogja pakai mini bus yang saya kirim.]
"Iya maaf, Pak. Saya agak enggak enak badan kemarin," tentu saja Aksa berbohong, dan mencari alasan paling aman untuk dia pilih.
[Ya udah enggak apa-apa, Pak. Makanya malam ini harus ikut ya, Pak. Saya kirim alamat restorannya lewat chat nanti.]
"Baik, Pak."
Aksa meletakkan kembali hpnya di atas meja saat panggilan itu terputus dari pihak Pak Hasani. Jika ada pilihan untuk menolak ajakan cliennya itu, tentu Aksa akan memilih untuk tidak ikut. Kota Jogja memang sayang untuk dilewatkan. Aksa mengakui itu valid. Hanya saja, dia benar-benar ingin segera pulang ke Jakarta, karena pikirannya tertahan pada seseorang di sana.
*****
"Lo marah sama gue?" Jani memberanikan diri untuk kembali membuka pembicaraannya bersama Riscen setelah cowok itu memilih bisu saat mengetahui apa alasan Jani mengajaknya bertemu.
Riscen masih diam. Pandangannya mengarah pada jalanan dan mengabaikan Jani yang berbicara padanya. Jika Jani mengira dia marah, itu tidak benar. Karena Riscen sudah menebak pertemuannya dengan Jani pasti masih menyangkut nama Aksa. Benar aja, tiba-tiba Jani menanyakan cinta pertama Aksa. Itulah kenapa Riscen diam. Karena jika dia menjawab, bukan hanya nama Aksa yang akan masuk ke dalam pembicaraan. Tetapi juga sosok bernama Devina.
"Ris, mau ke mana? Jalan ke panti udah kelewat!"
Riscen belum mau menjawab. Dia malah menambah kecepatan laju mobilnya. Itu membuat Jani semakin merasa khawatir jika Riscen tersinggung dengan pertanyaannya mengenai cinta pertama Aksa. Tapi apa susahnya menjawab? Bukannya Riscen pernah bilang jika cewek di foto itu adalah cinta pertama Aksa? Harusnya Riscen tinggal menceritakannya saja pada Jani.
"Area pemakaman?"
Riscen melirik Jani yang terkeju saat mobilnya berhenti di sebuah area pemakaman pinggiran kota. Tanpa menjawab, Riscen turun dari mobil. Jani yang seperti kehilangan kesadaran masih enggan turun meski tahu Riscen sudah menunggunya. Karena tidak sabar, Riscen akhirnya membuka pintu mobil untuk Jani.
"Ris..." Jani masih belum bergeming, alih-alih turun setelah Riscen membuka pintunya, dia malah menatap Riscen dengan tatapan menuntut penjelasan.
"Apa?"
"Ngapain ke sini?"
"Lo yang tanya sendiri soal cinta pertamanya Aksa, kan?"
Jani nampak bingung, lalu sedetik kemudian manik mata cewek itu mebulat. Sepertinya dia baru saja menebak sesuatu.
"Enggak mungkin," buru-buru Jani menampik tebakannya.
"Apanya?"
Jani kembali menatap Riscen.
"Dia udah meninggal?" Tanya Jani.
Riscen menghela napasnya.
"Turun dulu," jawab Riscen.
Tanpa protes dan bertanya lagi, Jani memilih untuk diam dan mengikuti langkah Riscen yang dengan enteng menyusuri jalan setapak area pemakaman. Riscen seperti sudah hapal makam mana yang akan dia tuju. Jelas sekali, Riscen pasti sangat sering mengunjungi salah satu makan di area ini.
Jani berhenti saat Riscen mengakhiri langkahnya pada salah satu makam. Devina Melania, Jani membaca nama yang terukir di atas batu nisan makam itu.
"Maaf enggak bawa bunga lily kesukaanmu. Aku mendadak dateng ke sini," Riscen bermonolog sendiri dan melupakan kehadiran Jani.
Tangan Riscen tiba-tiba terulur untuk membelai batu nisan seolah sedang menyentuh pucuk kepala seseorang yang tengah berbaring damai di bawah sana. Jani masih belum paham situasi ini. Tapi bukannya meminta pertanggung jawaban pada Riscen atas rasa ingin tahunya, Jani malah larut dalam kesedihan cowok itu.
Sebentar, Jani baru ingat sesuatu. Riscen pernah mengatakan jika dirinya dan Aksa memiliki cinta pertama yang sama. Pantas saja atmosfer saat ini begitu sendu. Karena selain membawa Jani pada cinta pertama Aksa, Riscen juga membawa Jani pada cinta pertamanya.
"Jan," Riscen mengalihkan pandangannya dan menatap Jani di sampingnya.
"Iya?"
"Lo udah tahu jawaban dari pertanyaan lo tentang cinta pertama Aksa, kan?"
Jani menggeleng ragu, lalu dia bertanya.
"Kenapa dia meninggal?"
"Mengakhiri hidupnya sendiri," jawab Riscen.
Jani terkejut karena tidak menyangka dengan jawaban yang Riscen berikan. Sebenarnya Jani ingin sekali bertanya kenapa, bagaimana dan ada apa. Tapi Jani menepikan rasa ingin tahunya demi menghargai Riscen. Karena dia tahu suasana hati cowok itu sedang tidak baik-baik saja saat ini.