Titik 0 Km

Egi Arganisa
Chapter #27

27. Sejelas-jelasnya Perasaan

"Lama amat, pake mampir kemana, Sa?" tanya Fery pada sahabatnya yang baru saja kemvali setelah izin pergi ke toilet.

"Lo ngrokok?" Fery baru sadar ada bau yang tidak asing dari tubuh Aksa.

"Iya, dikit," jawab Aksa membenarkan.

"Sejak kapan lo ngrokok lagi?"

Aksa mengendikkan bahunya.

"Pelan-pelan aja, Sa. Jani enggak akan ke mana gue yakin," ucap Fery.

Aksa hanya tersenyum simpul.

"Ngomong-ngomong hp lo kemana? Gue telepon sampe bosen enggak lo angkat-angkat."

"Ada kok, lhoh!"

Aksa merogoh saku celananya. Dia kaget saat tidak menemukan hp yang seharusnya ada di dalam sana. Sedetik kemudian Aksa menghela napas karena ingat benda yang Fery tanyakan itu tertinggal di kamar hotel.

"Ketinggalan, baru sadar gue," jawabnya tenang.

Lagipula, Aksa tidak begitu peduli lagi dengan alat komunikasi itu. Baginya, membawanya pun tidak akan berguna. Karena dia tidak bisa menghubungi satu-satunya nomor yang paling ingin dia kabari.

"Yang lain ke mana?" Aksa bertanya setelah sadar hanya tinggal Fery di meja makan panjang yang tadinya penuh dengan orang-orang.

"Udah cabut ke Malioboro, pada mau mampir mumpung tinggal jalan kaki. Mau nyusul apa balik hotel lo, Sa?"

"Lo?"

"Balik, gue ada penyakit kronis soalnya."

"Hah? Penyakit apa? Lo kenapa enggak cerita sama gue sih, Fer!" Aksa protes dengan tatapan khawatir.

"Penyakit kronis gue kalau abis makan pasti ngantuk!" Jawab Fery sambil tertawa.

Aksa mendengus merasa tertipu.

"Ya udah balik aja kita naik ojol. Enggak enak minta sopir nganter kita berdua doang," ajak Aksa.

Fery pun setuju. Mereka berdua meninggalkan restoran yang tidak jauh dari kunjungan wajib wisatawan Jogja itu. Tapi karena Fery dan Aksa tidak punya alasan lain setelah menghadiri acara makan malam bersama Pak Hasani, dua orang itu memilih absen dari Malioboro.

******

"Hah? Lo enggak ngabarin Aksa kalau nyusul ke Jogja?" Anya menaikkan nada suaranya saat tahu Jani hanya mengikuti intuisinya untuk bisa sampai memutuskan datang ke Jogja.

Jani mengangguk.

Anya menghela napasnya frustrasi.

"Terus kita kemana sekarang? Jani, gue izin kerja pake alasan bohong kakek gue meninggal loh ini."

"Kakek lo kan emang udah lama meninggal, Nya?"

Anya mendengus, "Enggak penting, yang penting tujuan kita mau ke mana ini?"

"Gue telepon Tristan deh ya?"

"Enggak! Gue lagi enggak pengen ketemu dia, jauh-jauh sampai Jogja cuma buat canggung-canggung sama Tristan. Meding gue balik Jakarta," Anya protes.

"Halo, Tan..."

Anya langsung menoleh kesal pada Jani.

Jani tersenyum dengan memohon pengertian karena menelepon Tristan tanpa menunggu persetujuan Anya. Alih-alih bingung akan pergi ke mana setelah sampai Jogja, Jani malah memikirkan cara agar bisa segera bertemu dengan Aksa.

[.....] Suara Tristan dari balik telepon itu terdengar tidak jelas karena suara-suara bising yang entah berasal dari mana.

"Lo di mana? Gue di Jogja, Tan."

[Hah? Jangan bercanda! Ngapain lo di Jogja?]

"Lo di mana? Jangan balik nanya!" Jani protes.

Tut.. tut.. tut...

Sambungan telepon itu terputus sepihak. Jani melirik Anya yang ternyata ikut menunggu jawaban Tristan dengan was was. Tapi saat manik matanya bertemu dengan manik milik Jani, dia pura-pura tidak peduli.

"Lagi di Malioboro dia," ucap Anya setelah memeriksa story milik Tristan yang terpaksa dia buka. Padahal sudah beberapa hari ini Anya membangun benteng pertahanan agar tidak terlihat peduli dengan menyembunyikan story cowok itu.

Dua pedatang baru di Jogja itu mulai menyeret koper mereka untuk meninggalkan bandara. Taksi online yang Anya pesan sudah menunggu membawa mereka berdua untuk menemukan seseorang berdasarkan intuisi. Meski Anya berulang kali protes, tetap saja cewek itu setia menemani Jani yang sedang dijajah perasaan gundah gulana.

"Anggap aja ini permainan semesta, Nya. Kalau lo ketemu Tristan, berarti dia jodoh lo!" Ucap Jani.

"Kenapa jadi gue? Ini cerita lo! Kenapa enggak, kalau lo ketemu Aksa hari ini, berarti dia bener-bener takdir lo?"

"Gue enggak mau dibunuh ekspetasi gue lagi, Nya. Sekarang aja gue enggak berani bayangin bisa ketemu Aksa. Sebelum kita berangkat, gue udah coba nelepon Aksa berkali-kali. Tapi kayaknya dia enggak mau jawab."

"Sibuk kali."

"Sampai sekarang nihil, chat gue aja nggak dia baca sma sekali."

"Mbak, saya turunin sini ya? Tinggal jalan ke seberang sana. Soalnya cuma bisa sampai titik ini."

Jani dan Anya menghentikan percakapan mereka saat supir taksinya berbicara bersamaan dengan mobil yang berhenti.

"Nyebrang ke mana, Pak?"

"Itu udah tugu nol kilometer, Mbak," supir itu menunjuk sebuah objek.

"Titik nol ya," Jani bermonolog lirih.

Dia tahu soal tugu titik nol itu. Dulu Jani merasa asing dengan titik nol yang Aksa bicarakan. Setiap mengingatnya, Jani selalu memikirkan tugu nol kilometer di Jogja ini. Tapi sekarang, saat mendengar titik nol kilometer, dia malah teringat pada Aksa. Seseorang yang mengenalkannya pada titik nol pada diri seseorang.

******

Seperti yang Jani dan Anya duga sebelumnya. Mencari satu orang dalam kerumunan orang-orang di hadapannya saat ini bukan hal mudah. Sejak Tristan memutus sambungan telepon tadi, nomor Tristan tiba-tiba tidak aktif. Jani menebak jika hp sahabatnya itu kehabisan daya.

Sekarang, Jani benar-benar hanya mengandalkan intuisi dan permainan semesta. Jani penah dengar, kebetulan adalah takdir yang menyamar. Seperti bagaimana Jani bertemu dengan Aksa, dia harap hari ini akan ada takdir lain yang menyamar sebagai kebetulan yang memihaknya.

"Nya fokus!" Jani protes saat Anya berhenti di salah satu lapak aksesoris..

"Lucu, Jan," Anya menunjuk gelang yang hampir seluruh maniknya terbuat dari kayu.

"Murah, Mbak," penjualnya pun tidak mau kehilangan kesempatan karena melihat Anya begitu tertarik.

"Berapa?"

"Lima puluh lima ribu buat, Mbak."

"Mahal, tiga puluh ribu deh."

Jani hanya menghela napas saat Anya mulai melakukan tawar menawar dengan penjual aksesoris itu. Sambil menunggu Anya, manik mata Jani masih berkeliling untuk mencari-cari. Meski kemungkinan belum bisa dia kantongi, setidaknya Jani ingin berusaha menyelesaikannya hari ini daripada menunggu besok.

"Jani, gue denger kalau ditawar pakai bahasa jawa bisa lebih murah. Tawarin dong, orang tua lo kan dari jawa timur," Anya menyenggol-nyenggol Jani sambil berbisik.

"Gue kan lahir di Jakarta, Nya!" Jani protes.

Lihat selengkapnya