Jani tertipu.
Hari ini Aksa bilang akan mengajaknya makan malam di luar. Tapi ternyata dia membawa Jani pergi ke rumah orang tua cowok itu. Sebenarnya Aksa tidak sepenuhnya berbohong, karena memang benar mereka akan makan malam. Jani saja yang terlalu percaya dan tidak bertanya lebih jauh. Tapi tetap saja ini sebuah penipuan bagi Jani.
"Biar aku bantu, Tan," ucap Jani saat melihat Lina akan meletakkan alat makan di meja.
"Enggak usah, Jani," jawab Lina.
"Biarin, Lin," suara tegas Abdi membuat istrinya menurut dan menyerahkan alat makan yang tadinya dia bawa pada Jani.
Jani melirik Aksa dengan tatapan tegang. Kekasihnya itu hanya mengangguk seolah memberi tanda jika semua akan baik-baik saja. Sebenarnya sejak dari tadi Jani takut dengan Ayah kekasihnya itu. Jani khawatir jika membuat kesalahan yang tidak dia sadari sehingga Abdi terlihat tidak ramah padanya.
"Kapan kalian nikah?"
"Nikah?" Jani menaikkan nada suaranya karena kaget. Jani segera menutup mulutnya saat sadar dia bertindak tidak sopan.
Tentu saja Abdi langsung menatap Jani.
"Kenapa? Aksa bilang mau bawa calon istrinya ke sini."
"Eh?" Jani melirik Aksa.
"Hehe, Jani, udah lama kenal Aksa?" Lina mencoba mencairkan ketegangan suasana meja makan saat ini.
"Lima setengah bulan, Tan," jawab Jani.
Lina mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kenapa kamu baru ajak Jani ke sini sekarang?" Tanya Abdi pada putra tunggalnya.
Aksa hanya menaik turunkan bahunya.
"Harusnya dari dulu," tambah Abdi setengah berbisik sambil kembali menyantap makan malamnya.
"Kalau gitu Ayah lamarin Jani buat Aksa besok!"
"Uhuk!" Jani segera meraih gelas berisi air putih yang Aksa berikan.
"Kamu ketularan ngegas Ayahmu ya sekarang, Sa," ucap Lina.
Jani benar-benar sudah kehabisan kata-kata.
*******
"Ayah..."
Abdi menurunkan buku bacaannya saat mendengar suara putra semata wayangnya itu.
"Apa?"
"Soal yang aku minta Ayah ngelamar Jani ..." Aksa menggantungkan kalimatnya.
"Kenapa? Laki-laki kalau udah ngomong enggak bisa ditarik lagi."
Aksa terkejut mendengarnya. Dia kira Abdi tidak setuju dan Aksa masih butuh waktu untuk membujuknya.
"Makasih, Yah."
"Buat apa? Kita kan sama-sama untung. Kamu punya istri, Ayah punya menantu."
"Bukan cuma soal itu, makasih buat semuanya. Aku tahu kok, walau Ayah terkesan enggak peduli. Tapi Ayah adalah orang yang paling yakin sama apa yang Aksa lakuin."
Abdi menghela napasnya.
"Udah lama ya, enggak liat kamu mau ngomong sama Ayah dengan jarak sedeket ini," Abdi meninggalkan meja kantornya untuk berdiri lebih dekat di hadapan putra tunggalnya itu. Kemudian, lelaki yang kulitnya sudah lama mulai keriput itu tanpa ragu memeluk Aksa.
"Hampir tiga puluh tahun Ayah jadi orang tua kamu. Hari ini... baru hari ini ayah merasa benar-benar jadi seorang Ayah," ucap Abdi lagi.
Aksa tersenyum dan membalas pelukan Ayahnya, "Dari dulu, Ayah adalah Ayah terbaik buat Aksa."
*******
Pagi ini rumah Jani heboh karena tiba-tiba Anton, sang kepala keluarga rumah itu memakai seragam tentaranya dahulu. Tentu saja keluarganya terkejut karena Anton sudah purna sejak dua tahun lalu. Menurut Rini, tidak ada acara untuk pensiunan hari ini, yang mengharuskan suaminya berseragam lengkap. Ketika ditanya apa alasannya, jawaban Anton lebih mengejutkan mereka.
"Aksa ke sini mau ngelamar Jani, dia harus tahu kalau aku pensiunan tentara. Biar dia enggak berani main-main sama Jani."
"Apa sih! Bapak Alay!" Protes Jani.
Nana dan Sigit hanya bisa tertawa, sedangkan Rini dan Jani geleng-geleng karena merasa apa yang Anton pikirkan tidak masuk akal.
"Ganti dong, Pak! Malu aku, nanti Aksa ke sini sama Ayah Bundanya loh!"
"Biarin, Jan."
"Ih, Mas!" Jani masih protes.
"Buk, bilang ke Bapak dong!" Jani meminta kerjasama Ibunya.
"Wes emboh! Ibuk mau lanjut masak rendang!"
Bibir Jani mengerucut, karena tidak ada yang memihaknya.
"Dulu waktu ngelamar Nana kok Bapak enggak pake seragam, sih?" Tanya Nana.
"Jangan salah! Mas Sigit diceramahi soal kesetiaan hampir tiga jam. Itu kan maksud Bapak pake seragam?" Jawab Jani.
Sigit mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Saya ini abdi negara, udah janji setia sama negara. Jadi kalau kamu main-main sama yang namanya kesetiaan, sekecil apapun saya enggak akan bisa maafin," Jani dan Sigit mengatakan kalimat panjang itu dengan kompak. Mereka hapal di luar kepala sampai tidak ada satu katapun yang salah. Sepertinya Anton memang sangat sering menggunakan kalimat itu.