Titik 0 Km

Egi Arganisa
Chapter #1

1. Masih Awal

"Semua orang yang ingin mencoba, pasti punya awal."

****



Panas, itu adalah kata yang paling cocok untuk diungkapkan saat ini. Selain untuk cuaca kota Jakarta yang membakar ubun-ubun, seseorang juga sedang panas hatinya. Entah sudah berapa lama Jani bertahan pada posisinya sekarang. Jangankan memikirkan kemana dia akan pergi setelah ini, melangkah dari bawah atap halte pun Jani enggan.

Cewek itu mengipas-ngipaskan amplop coklat yang ia bawa sedari tadi, dengan tujuan mengumpulkan angin segar yang bisa mengurangi gerah di badannya. Jani berhenti sejenak dari aktifitasnya, dan ia tiba-tiba tersenyum simpul. Berpikir bahwa amplop berisi lamaran kerja yang tidak berhasil menuntaskan status penganggurannya itu berguna juga.

"Sampai kapan harus nganggur lo, Jan!" batin Jani protes pada dirinya sendiri.

Hampir setengah jam Jani duduk di halte. Mengabaikan beberapa angkutan umum yang seharusnya bisa membawanya pulang. Cewek berparas manis itu menghela napas frustrasi saat akhirnya harus beranjak. Pulang adalah keputusan finalnya. Seperti belum makan berhari-hari, Jani berjalan dengan lesu menuju angkot yang baru saja berhenti itu. Semangatnya sudah menguap. Apalagi mengingat ia belum juga mendapat pekerjaan baru semenjak enam bulan re-sign dari kantor lamanya. Sekarang Jani hanya ingin segera sampai rumah untuk mendengar kalimat menenangkan dari ibunya sekali lagi, "Sabar nduk, belum rejeki."

"Kemana, Neng?" Tanya sopir angkot.

"Terakhir, Bang." Jawab Jani.

Supir angkot manggut-manggut, tanda paham maksud penumpangnya.

Angkot itu masih belum membawa banyak penumpang. Hanya ada satu wanita paruh baya, dua siswa madrasah dan Jani sendiri. Walau tidak penuh sesak, tetap saja Jani merasa pengap. Ia masih menggunakan amplop lamaran kerjanya sebagai alat pengumpul angin. Suasana hatinya juga semakin buruk, karena angkot sering nge-tem. Jani memang ingin cepat-cepat sampai rumah, menikmati segelas es sirup dan merebahkan diri di kasur kamarnya. Namun ia tidak bisa protes, karena supir angkot itu juga butuh penumpang lain. Kiranya Jani harus bersabar sekali lagi. Lebih baik ia mendengarkan musik dari hpnya. Sembari menunggu angkot itu membawanya sampai tujuan.

Alih-alih membuka aplikasi musik, Jani malah menemukan sepuluh panggilan tak terjawab dari sahabatnya. Jani berniat menelepon kembali. Namun ia membaca pesan masuk telebih dahulu, karena sahabatnya juga mengiriminya banyak pesan. Jani membaca pesan itu dengan hati-hati. Bahkan ia membacanya lebih dari dua kali untuk memastikan agar tidak ada kesalahpahaman. Tanpa pikir panjang setelah ia yakin dengan maksud dari pesan sahabatnya itu, Jani segera memberi tanda pada supir angkot untuk berhenti.

"Pak! Kiri," teriak Jani.

Sedikit terjadi keributan di dalam angkot, karena sopir mengijak remnya mendadak. Tentu saja segala protes dan tatapan tidak mengenakkan dari penumpang lain mengarah pada Jani.

"Gimana sih si eneng, katanya terakhir," supir angkot juga protes, karena harus menginjak remnya mendadak.

"Ya maaf, Bang. Aku masih ada urusan di sini ternyata," jawab Jani sambil mengulurkan satu lembar uang sepuluh ribuan.

"Kembaliannya, Neng?"

"Ambil aja, Bang. Sebagai tanda maaf udah bikin kaget," jawab Jani.

Setelah turun dari angkot, Jani mulai mengetik sebuah pesan balasan di layar hpnya. Seperti tanah gersang yang ditetesi air. Perubahan wajah Jani sangat terlihat saat membaca pesan yang baru saja masuk. Hari ini Jani memiliki pekerjaan lagi.

****

"Baik Pak Hasani, minggu depan kita bicarakan bersama tim untuk memulai proyek rumah makan, Bapak."

[...]

"Sama-sama, Pak. Senang bekerjasama dengan Bapak."

Aksa meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya setelah sambungan dari client itu terputus. Tangannya beralih pada kertas desain yang masih menampilkan beberapa sudut bagian sebuah rumah joglo. Aksa lama di luar negri. Jadi ia tidak menyangka desain sederhana seperti ini malah menarik untuk client yang sudah tiga kali menolak desain dari tim perusahaannya.

Tidak berpikir lama Aksa keluar dari ruangannya, untuk mencari orang yang bersangkutan atas desain itu. Hanya saja karena ini jam makan siang, Aksa tidak menemukan orang yang dicarinya.

"Ren."

"Lhoh, Pak Aksa enggak makan siang?"

"Nanggung, Ren. Saya bentar lagi mau ketemu client. Oh iya, Reni, setelah makan siang nanti tolong minta Tristan ke ruangan saya ya."

"Baik, Pak."

"Terimakasih," Aksa pun kembali ke ruangannya.

Beberapa bulan ini salah satu tim perusahaan memang mendapat masalah. Aksa juga dibuat kebingungan, karena dia baru tiga bulan memimpin perusahaan kontraktur yang menyediakan layanan jasa arsitektur dan konsultan bangunan. Ia belum tahu betul bagaimana karakter client. Salah satu yang paling sulit adalah Pak Hasani. Client proyek besar pertamanya selama ia pindah bekerja di Indonesia.

Aksa semakin khawatir saat tim terbaik yang biasanya berhasil menjalankan proyek besar dibuat kewalahan oleh Pak Hasani. Dua bulan lalu beliau ingin membuka rumah makan dengan tema tradisional jawa untuk tiga kota besar di tiga provinsi. Kesempatan ini tidak mungkin perusahaan buang sia-sia. Apalagi ini proyek besar pertama selama Aksa memimpin. Seberapa sulitnya permintaan Pak Hasani, Aksa tetap meminta tim merevisi sesuai permintaan beliau. Namun sekian kali merevisi, Pak Hasani masih belum mengatakan "Deal".

Hasil tidak akan menghianati usaha. Begitu kiranya pepatah yang cocok, karena Aksa menemukan sebuah titik terang dari masalah perusahaannya itu. Pak Hasani akhirnya mengatakan "Deal" untuk desain rumah makan dengan bentuk rumah joglo dan tambahan gazebo-gazebo kecil untuk pilihan tempat bersantap. Desain seperti itu sebenarnya sudah pernah diajukan, tapi ditolak oleh beliau.

"Masih belum sreg saya, Pak." Beberapa kali Aksa mendengar kalimat itu dari Pak Hasani.

"Tapi, Pak. Ini desain yang cukup unik." Aksa ingat perdebatan dengan Pak Hasani beberapa minggu lalu. Saat ia menyangkal untuk mempertahankan desain milik tim perusahaannya.

Namun kali ini ia nampak tidak bisa menyangkal. Walau desainnya hampir sama dengan desain yang pernah tim perusahaan ajukan, Aksa tetap merasakan ada yang berbeda dari gambar itu. Memang sederhana. Malah bisa dibilang ini desain dasar. Tetapi saat ia memandang desain itu, lama kelamaan Aksa merasa seperti pulang. Aksa bisa mengerti. Ia bisa menangkap filosofi desain sederhana itu, "tempat makan terbaik adalah rumah". Mungkin perasaan ini yang dicari Pak Hasani, perasaan yang tidak bisa beliau dapat saat melihat desain-desain sebelumnya. Aksa baru tahu bahwa pepatah tentang, "Dari mata, turun ke hati," itu benar adanya.

"Batu ya lo, Sa!"

Lihat selengkapnya