"... Celakanya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu.
Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku.
Kau pergi dan menghilang ke mana pun kau suka ... " Shela On 7 - Seberapa Pantas.
Lagu-lagu populer era tahun dua ribu-an mengundang tiga orang di meja nomor dua puluh enam sebuah food court untuk bernostalgia. Apalagi saat ini lagu dari penyanyi Shela on 7 favorit mereka sedang diputar. Beberapa kali mereka ikut bernyanyi-nyanyi kecil di sela kegiatan menyantap makanan.
Jani, Anya dan Tristan bersahabat sejak perkenalan masa orientasi siswa baru Sma Merdeka. Sudah lebih dari sepuluh tahun. Di setiap ada kesempatan, mereka memiliki agenda kecil untuk bertemu. Ya, sekedar ngopi bersama atau untuk bersantai, melupakan beberapa hal yang mengganggu hari-hari mereka. Memang tidak bisa selalu bertiga dan bertemu. Tapi Agenda pertemuan itu lama kelamaan telah menjadi kebiasaan.
Sore ini, mereka membuat janji lewat grub chat untuk bertemu. Setelah saling memastikan mereka tidak sibuk, dan sedikit berdebat tentang titik temu. Akhirnya mereka memutuskan untuk memilih tempat yang Anya rekomendasikan. Sebuah food court di daerah Senayan yang baru buka beberapa bulan lalu. Jani dan Tristan setuju karena tempat itu sudah terkenal di media sosial, dan mereka belum sempat mencobanya.
"Udah bisa makan enak ya, kalian?" Tanya Anya sambil memerhatikan Jani dan Tristan yang melahap makanan mereka dengan penuh penghayatan.
Jani dan Tristan mengangguk bersamaan.
Anya tersenyum menatap dua sahabatnya itu. Dia ingat bagaimana stresnya Jani dan Tristan selama beberapa bulan ini. Jani stres karena belum mendapat pekerjaan setelah re-sign, dan Tristan stres karena ada masalah dengan client perusahaannya. Anya maklumi saja, jika kedua temannya itu melampiaskan rasa lega mereka hari ini.
"Nih, makan. Liat lo berdua makan udah bikin gue kenyang," Anya memindah nugget yang belum dia habiskan ke piring milik Tristan. Karena cowok bermata sipit itu terus-terusan mencuri pandang pada piring nuggetnya sedari tadi.
"Terimakasih, Teman," dengan semangat, Tristan melahap nugget yang baru saja berpindah hak kepemilikan itu.
"Minta dong, Tan.."
Tristan berbaik hati meletakkan satu nugget dari piringnya ke piring Jani.
Anya hanya bisa geleng-geleng.
Orang lain yang melihat bagaimana Jani dan Tristan makan, mungkin akan mengira dua orang ini sangat kelaparan. Bagaimana tidak berpikir demikian? Tristan memesan nasi goreng dengan tambahan telur. Belum lagi dia masih menghabiskan nugget milik Anya. Jani, si jago makan di meja itu memesan nasi goreng dan mie pangsit yang sekarang hanya menyisakan mangkok tanpa isi.
"Pelan-pelan makannya. Kayak enggak pernah makan aja, lo!" Tristan protes saat Jani makan dengan berantakan. Satu-satunya cowok di meja itu mengambil tissue dan membersihkan sisa makanan yang tertinggal di mulut Jani.
"Makasih, Teman," Jani tersenyum dan kembali dalam kegiatannya menandaskan makanannya.
"Lo juga kali, Tan." Anya menimpali.
"Gue juga gimana?" Tristan mengusap-ngusap mulutnya. Dia kira ada sisa makanan yang berantakan. Padahal bukan itu yang Anya maksud.
"Ngatain Jani kayak enggak pernah makan, lo juga gitu."
"Dih, masa sih?" Tanya Tristan sambil melirik Jani yang sedang makan dengan lahap. Dia tidak percaya makan seperti teman yang duduk di sampingnya itu. Pasalnya, Jani makan seperti orang kesetanan.
Anya mengangguk. Sedangkan Jani, dia tidak mau tahu.
"Ya maklumin lah, Nya. Ini kali pertama lidah gue bisa ngerasain pahit, gurih, asem, manis setelah pikiran gue buntu masalah proyeknya Pak Hasani."
"Iya gue paham. Jadi, sekarang kalian satu kantor dong?" Tanya Anya.
Jani dan Tristan mengangguk secara bersamaan lagi.
"Kapan mulai kerja?"
"Minggu depan, Nya. Ini gue masih harus bikin desain full sekalian maketnya," jawab Jani.
"Lembur lo? Mau gue bantu nggak?"
"Enggak usah, Tan. Gue bisa kok. Mending lo nyicil jam tidur lo yang kepake buat lembur kemaren-kemaren aja."
"Serius ini?" Tristan masih memastikan.