"...Reuni akbar tiga angkatan pertama Sma Merdeka, resmi dimulai..."
Tut ... Tut ...
Sambungan telepon itu terputus. Aksa melirik seseorang yang mengemudikan mobil. Tidak ada percakapan apapun. Cowok dengan setelan kemeja warna abu-abu itu tahu, orang di sebelahnya sedang naik darah karena dirinya.
"Gue bela-belain ninggalain Bini gue di acara reuni demi jemput lo. Bisa-bisanya masih santai kasih makan kucing. Belom mandi pula!" Fery masih menggerutukan kalimat yang sama saat keluar dari mobil. Seolah belum puas dengan omelannya untuk Aksa sepanjang jalan tadi.
Aksa hanya menghela napas tanpa menanggapi omelan Fery. Ia sadar bahwa kesalahan hari ini sepenuhnya terletak pada dirinya. Padahal ia sudah memberi keputusan final untuk tidak menghadiri acara reuni Sma nya. Tapi tiba-tiba ia berubah pikiran.
Sekarang, di sinilah Aksa. Berdiri menatap gedung sekolahnya dulu. Tidak pernah sekalipun terpikirikan olehnya akan melihat pemandangan itu lagi. Bukan karena tidak bisa, tapi sebenarnya ia tidak ingin. Aksa pikir ia memusuhi masalalunya, dan ia lebih suka tidak ada hal-hal yang membuatnya memutar waktu ke belakang. Tapi ternyata, saat ia berjumpa dengan gedung sekolah lamanya, ada perasaan aneh yang pecah di hatinya. Entahlah, Aksa hanya bisa akui, ia senang.
Bangunan Sma Merdeka memang sudah berubah banyak dari yang Aksa ketahui dulu. Namun, koridor panjang yang sedang ia lewati masih sama. Dulu, koridor ini seakan tak berujung saat Aksa mengendap-ngendap agar bisa sampai ke pintu belakang sekolah.
"Sa, bolos pelajaran fisika, yuk."
"Lagi?"
si dia mengangguk.
"Tapi mau kemana? Kantin jam segini sepi. Kita bisa ketahuan."
"Ke warung baso belakang sekolah, punya Mang Nanang."
Suasana hari ini memaksa Aksa untuk memutar ingatan lamanya. Bersama dia, dia yang tidak suka pelajaran fisika, dan dia yang pernah menjadi satu-satunya bagi Aksa.
"Ngelamun!" Fery menepuk bahu Aksa.
Aksa tersadar dan langsung menghentikan niatnya untuk bernostalgia lebih lama.
"Telat ini, Bini gue udah ngomel!" Fery mengeluh setelah membaca pesan dari hpnya.
"Ya udah, ayo masuk."
Acara sambutan telah usai dan bergantikan dengan inti acara. Para alumni tengah menikmati hidangan yang tersedia. Mereka semua terlihat mengobrol dengan renyah. Entah membicarakan topik menarik setelah lulus, atau saling bernostalgia. Tidak ada yang peduli siapa yang baru saja datang. Aksa lega akan hal itu. Namun dari sekian banyak alumni yang tidak memperdulikan, ada satu yang menyadari kedatangan Aksa. Seseorang itu langsung mengabaikan teman berbincangnya, dan datang menghampiri tempat Aksa dan Fery berdiri.
"Wih Aksa!"
"Masih inget lo?" Fery menjawab.
"Apa kabar, Nan?" Aksa membalas uluran tangan Nando. Dia teman sekelas sekaligus ketua osisnya dulu.
"Baik, anak gue udah mau dua tuh," Nando menunjuk seseorang yang juga masih Aksa kenali. Dia tengah sibuk menyuapi anak laki-lakinya. Jangan lupa perut buncit yang terlihat jelas dalam balutan dress merah hati itu.
"Perasaan dulu lo sama Niken berantem mulu, Nan?" Fery menyahut.
Aksa juga terkejut. Masadepan memang tidak pernah ada yang tahu. Jadi jangan membenci terlalu, bisa jadi yang dibenci akan jadi pemilik hati dikemudian hari. Seperti Nando dan Niken. Aksa ingat betul ketua osis dan sekertaris angkatannya ini sering bertengkar. Bahkan tidak segan saling maki. Tapi sekarang, mereka malah menjadi sepasang suami istri.
"Masih galak, tapi enak.." Nando menaikkan sebelah alisnya.
Aksa hanya tertawa mendengarnya.
"Ke mana aja lo setelah.."
"Ngobrolnya nanti aja dulu, Nan. Gue sama Aksa laper," Fery memotong kalimat Nando.
"Eh, buru-buru banget," Nando protes.
Namun Fery tidak mengindahkan kalimat teman lamanya itu. Dia segera menarik Aksa menjauh. Karena Fery tahu, arah pertanyaan Nando akan membuat Aksa semakin tidak nyaman.
"Lo cari makan duluan aja. Gue mau nyari bini gue dulu, Sa."
Aksa menganggukkan kepalanya.
"Langsung telepon gue kalau lo ada apa-apa."
"Gue udah tiga puluh tahun ini. Bukan bocah lagi! Udah sana nikmatin acara reuni lo, Fer. Kita ketemu lagi sesuai rencana tadi aja," Aksa mendorong Fery yang masih ragu meninggalkannya sendiri.
"Oke."
Di perjalanan tadi, mereka sudah membuat janji untuk bertemu dengan Tristan sekaligus anggota tim baru perusahaannya. Itu adalah tujuan utama Aksa berubah pikiran dan datang dalam acara reuni yang sebelumnya tidak ingin ia hadiri.
Besok Aksa harus pergi ke luar kota untuk acara keluarganya beberapa hari. Jadi, Aksa belum memiliki kesempatan untuk menyapa anggota tim baru perusahaan itu secara langsung. Lagi pula, tidak etis hanya mengucapkan selamat bergabung lewat Tristan. Mengingat saat penandatanganan kontrak kerja, Aksa juga tidak bisa bertemu dengan anggota baru tim itu.
Ya, begitulah singkat cerita kenapa Aksa ada di antara kerumunan para Alumni sekolah lamanya ini.
Acara reuni berlangsung semakin ramai. Sekarang, beberapa alumni mulai menyumbang suaranya untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai hiburan. Meski riuh itu harusnya menghilangkan sepi, tapi entah kenapa Aksa masih tidak bisa menikmatinya. Jujur saja, ia juga ingin bergabung dengan beberapa teman yang pernah ia kenal dulu. Namun niatnya terurung, saat sadar beberapa alumni yang mengenalnya mulai menjadikan ia topik dalam obrolan mereka.
Aksa memilih untuk menjauhi keramaian. Sebenarnya itu bukan pilihan. Aksa memang sudah pasti melakukannya. Ia masih mencoba menikmati acara dengan mengalihkan fokusnya pada stand makanan di sana. Setidaknya jika ia tidak bisa menikmati obrolan, Aksa masih bisa menikmati hidangan-hidangan yang menarik matanya itu. Aksa melahap beberapa makanan yang tersedia. Ia masih melihat orang-orang di sekitarnya saat ini tertawa lepas. Lalu Aksa bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Apa mereka tidak memiliki beban dalam hidupnya?",
"Apa bisa sebahagia itu, jika melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan?".
Aksa menggelengkan kepalanya. Seolah ingin menghilangkan pertanyaan tanpa jawaban yang mengusik isi kepalanya itu.
Tas..!
"Eh, Enak.."
Fokus Aksa tiba-tiba teralihkan oleh sesuatu yang baru saja meletus dalam mulutnya. Makanan berbentuk bulat warna hijau yang baru saja ia lahap itu meninggalakan rasa manis setelah ia menggigitnya. Aksa sampai temenung karena rasa makanan yang belum ia kenali itu diterima sangat baik oleh indera perasanya.
"Enak," ucap Aksa sekali lagi, sambil mengamati makanan yang ia pegang itu dengan khitmat.
"Apaan nih," ia berniat bertanya pada dirinya sendiri. Namun sebuah suara asing menjawab pertanyaannya.
"Itu Klepon."