Kota J, 23 Desember 2011 (Satu bulan sebelum pernikahan)
Ini bukan akhir perjalanan karierku.
Sekali lagi, kuulang kalimat itu di dalam hati. Aku bisa kembali ke tempat ini suatu hari nanti—mungkin. Atau tidak sama sekali. Tapi, aku selalu punya harapan itu. Dan kantor ini akan selalu menjadi bagian dari diriku. Pun orang-orang yang kini tengah sibuk memeriksa kelayakan dokumen di balik kubikel biru tua itu. Juga aroma kopi yang kuhidu dari dalam cangkir bermotif bunga melati dalam genggamanku ini.
Aku menghela napas panjang. Kubiarkan aroma kopi luwak memenuhi rongga penciuman. Di antara riuhnya pikiran, kucoba menikmati romantisme suasana pagi di balkon kantor Bank Mahardika Berkarya untuk terakhir kali—setelah semalaman lembur demi kelengkapan dokumen audit.
"Rahma, ternyata kamu masih di sini."
Seseorang memegang bahuku. Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajat dan menemukan Mbak Kania—senior operasional manajer yang sekaligus sahabatku—berdiri tepat di belakangku. Aku tersenyum sembari melempar tatapan ke arah ruangan di belakanganya.
"Aku nggak sendirian, Mbak. Mereka juga bekerja sama kerasnya denganku."
"Tentu, Rahma. Kamu manajer tim terbaik di divisi ini. Kamu inget? Di tempat ini juga kamu mengawali segalanya."
Aku mengangguk, lantas tersenyum. Pikiranku terlempar jauh ke masa lalu.
Hari itu, delapan tahun silam. Aku duduk sendirian di tempat ini dengan sekotak nasi goreng Jawa bikinan Ibu sebagai bekal makan siang. Aku yang canggung dan kikuk memilih balkon sebagai tempat makan siang, saking takutnya jadi korban perundungan.
Namun, Mbak Kania dan teman-teman yang lain datang memecah suasana.
"Selamat datang anak baru!" teriak Mbak Kania dengan mulut dipenuhi remahan nastar. Tangan kirinya memegang erat stoples, sementara yang kanan memasukannya ke mulut. "Lagi makan siang apa merenung?"
Aku buru-buru menutup kotak bekal makan siang dan berdiri. "Maaf."
"Bukan. Bukan itu maksud kami," kata Mbak Aurora, dari HR. "Lo lanjutin makan siang lo, kami temenin. Please, makan sendirian itu nggak enak."
"Apa lagi kalau sambil mikirin kapan ijazah keluar biar cepet jadi karyawan tetap."
Semua orang tertawa kecuali aku yang mau tidak mau—dengan rasa malu setengah mati—harus kembali berpura-pura menikmati nasi goreng di tengah obrolan mereka.
"Mau bertaruh?" tanya Mas Farhan dengan antusiasme penuh.
Yang lain mengangguk. Mata mereka terlihat sangat berbinar hari itu. Tapi, aku masih belum mengerti arah pembicaraan mereka.
"Banker, consultant, rekan kerja, klien, atau nasabah?"
"Nasabah!" Mbak Kania menjawab pertama. "Eh, tapi kamu udah ada pacar apa belum, Rahma?"
Aku menggeleng mantap. "Nggak ada, Mbak."
Mbak Aurora berpikir sebentar. "Kalau dari bentuk tubuh, wajah, dan background pendidikan kayaknya dia bakal ngegaet konsultan, sih. Atau minimal banker dengan jabatan dua level di atas dia."
"Si paling kritis!" timpal Mas Farhan. "Satu aja, Babe."
"Oke. Konsultan."
"Oke. Yang kalah bayarin semua dari kita staycation ke Bali."
"Deal!" seru mereka bertiga secara bersamaan.
Hari itu, mereka berhasil mencairkan suasana. Dan sejak saat itu, nasi goreng Jawa jadi menu favorit mereka. Ibu dibanjiri pesanan, sementara aku sibuk menenteng banyak kotak setiap pagi.
"Taruhanku benar, 'kan?" tanya Mbak Kania mengembalikan fokusku. Imajinasiku terpecah. Perjalanan waktuku terhenti.