Titik Balik

Sekar Setyaningrum
Chapter #2

Kota J, 23 Desember 2011 (Satu bulan sebelum pernikahan)

Kota J, 23 Desember 2011 (Satu bulan sebelum pernikahan)

Ini bukan akhir perjalanan karierku.

Sekali lagi, kuulang kalimat itu di dalam hati. Aku bisa kembali ke tempat ini suatu hari nanti—mungkin. Atau tidak sama sekali. Tapi, aku selalu punya harapan itu. Dan kantor ini akan selalu menjadi bagian dari diriku. Pun orang-orang yang kini tengah sibuk memeriksa kelayakan dokumen di balik kubikel biru tua itu. Juga aroma kopi yang kuhidu dari dalam cangkir bermotif bunga melati dalam genggamanku ini.

Aku menghela napas panjang. Kubiarkan aroma kopi luwak memenuhi rongga penciuman. Di antara riuhnya pikiran, kucoba menikmati romantisme suasana pagi di balkon kantor Bank Mahardika Berkarya untuk terakhir kali—setelah semalaman lembur demi kelengkapan dokumen audit.

"Rahma, ternyata kamu masih di sini."

Seseorang memegang bahuku. Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajat dan menemukan Mbak Kania—senior operasional manajer yang sekaligus sahabatku—berdiri tepat di belakangku. Aku tersenyum sembari melempar tatapan ke arah ruangan di belakanganya. "Aku nggak sendirian, Mbak. Mereka juga bekerja sama kerasnya denganku."

"Tentu, Rahma. Kamu manajer tim terbaik di divisi ini. Tapi, di hari terakhirmu ini, boleh aku ngomong sesuatu?" tanya Mbak Kania sembari terus menatapku. Pertanyaannya terdengar serius. Dia menggeser posisi berdirinya dan kini kami bersebelahan. Jika sekarang adalah Jumat biasa, mungkin aku tidak akan segugup ini. Sayangnya, aku mungkin tidak akan memiliki kesempatan seperti ini lagi.

Aku mengangguk. Kugigit bibir bawahku, berusaha menyingkirkan rasa sesak yang datang bertandang acap kali kata 'hari' dan 'terakhir' diucapkan secara bersamaan. Kualihkan tatapan dari wajah Mbak Kania ke arah langit yang mulai terang. Aku tidak ingin menangis di sini.

"Kami sangat kehilanganmu. Berat bagi kami merelakan kamu, Rahma. Tapi, kami nggak mau menghalangi langkahmu. Pada akhirnya, kita akan tiba di persimpangan yang memaksa kita memilih jalan terbaik dari yang paling baik sekali pun. Meskipun kalau bisa sedikit memaksa, aku bakal maksa kamu buat tetap kerja." Mbak Kania menghela napas panjang. "Hadi berhasil merebut kepercayaanmu hanya dalam waktu lima bulan setelah pertemuan pertama kalian. Dan kami yakin, Hadi memang sebaik itu."

Mbak Kania tersenyum. Sementara aku sudah tidak bisa lagi menahan diri. Air mata mulai jatuh membasahi pipi dan aku kehilangan kata-kata. Benteng pertahananku berhasil ditembus Mbak Kania. Tangisan yang seminggu belakangan coba kutahan-tahan, akhirnya tumpah juga. "Aku nggak pergi ke mana-mana, Mbak. Aku cuma menikah."

Aku cuma menikah. Sebuah kalimat sederhana yang entah kenapa membuatku merasa begitu jauh. Kalimat itu seolah memberi jarak pada kehidupan yang sudah kumiliki sebelumnya. Aku terus pergi menjauh selangkah setiap hari sejak memutuskan mengundurkan diri.

"Ya. Kamu cuma menikah. Dan kita masih bisa berhubungan seperti biasa."

Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya kudengar pintu balkon terbuka. Kami menoleh bersamaan. Rani, Dewi, Fatma, Mas Farhan dan rekan lain dari divisi operasional muncul dari balik pintu. Mereka membawa balon, bunga, dan kue tart kecil yang dihias warna-warni.

"Mbak, selamat atas pernikahannya, ya," ucap Mas Farhan diiringi pelukan dari rekan-rekan yang lain. "Kita harus berbahagia hari ini. Nggak ada yang boleh nangis. Mbak Rahma mau menikah dan kita semua turut berbahagia."

Larangan menangis adalah perintah paling lantang bagi wanita. Kini aku sempurna menangis. Bukan lagi terisak. Aku merengek seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus memberitahu mereka jika aku sangat bersyukur ada di sini delapan tahun terakhir.

Kami menghabiskan satu jam sebelum operasional kantor dimulai dengan bernostalgia: mengulas bahagia dan duka yang pernah kami bagi bersama. Hubungan kami memang nyaris tanpa drama. Begitu tenang dan harmonis. Divisi operasional hanya akan riuh jika Pak Burhan dari internal audit meminta data ini itu atau salah satu dari kami berulang tahun. Dan itu juga yang pada akhirnya memberatkan langkahku. Berhenti bekerja sama artinya dengan kehilangan semua momen kebersamaan di antara kami.

Kami mengakhiri sesi obrolan pagi ini dengan foto bersama sebelum kembali ke kubikel masing-masing demi menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Namun, alih-alih pergi ke ruangannya, Mbak Kania justru mengekoriku.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Mbak Kania saat aku tiba di kubikelku.

Lihat selengkapnya