Kota J, 11 Januari 2012 (Hari Pernikahan)
"Ama, apa ini? Mbak udah bilang, 'kan? Kamu nggak perlu ngasih Mbak apa-apa." Mbak Dara yang sedang dirias menatapku dengan bola mata membulat penuh. "Kita udah sepakat nggak pakai adat langkahan atau apa itu."
Aku tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu Mbak Dara nggak mau kita pakai adat langkahan, makannya aku kasihnya cuma kado kecil ini. Dan aku juga ngasihnya di sini, bukan di depan meja akad apa lagi dilihat tamu undangan."
Terlahir dari keluarga Jawa yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, Ibu sempat menolak keinginan kami untuk melewatkan tradisi langkahan ini. Menurutnya, langkahan adalah ritual wajib yang harus dilakukan agar kelak rumah tanggaku diberkati.
Kukira, urusan langkahan ini akan menjadi sesuatu yang sulit dinegosiasi. Ternyata, Ibu mengalah setelah mendengar alasan yang kami berikan.
"Ini yang jadi mauku, Ama."
"Dan ngasih ini juga adalah mauku, Mbak."
Mbak Dara yang semula terlihat gusar, mendadak tenang. Matanya menatap kotak kecil yang kini sudah berpindah ke pangkuannya. Wajahnya yang mungil berubah sendu. "Ama, apa aku pantas nerima ini?"
Aku menggenggam jemari Mbak Dara yang terasa dingin. Rupanya, dia juga sama gugupnya denganku. "Mbak Dara, ini cuma hadiah kecil, lo. Mbak Dara boleh minta lebih tapi malah milih buat nggak minta apa-apa."
Kini, Mbak Dara tersenyum. Lesung di kedua pipinya terlihat jelas. Persis seperti milikku. "Ama, aku tahu perjuangan kamu buat ngerawat Ibu selama ini. Aku tahu kamu bahkan menguras tabungan kamu buat bantu ngerenovasi rumah ini. Aku juga tahu Mas Hadi nggak punya siapa-siapa dan aku udah cukup bahagia dengan lihat kalian bahagia. Aku nggak mau jadi beban buat kalian."
Aku terus mengatakan pada diri sendiri untuk tidak menangis. Sekuat mungkin, aku menahan serbuan haru yang membuat mata kembali basah. Aku mengeratkan genggaman. "Mbak, Mbak Dara nggak pernah jadi beban buat aku. Justru aku yang merasa selalu merepotkan Mbak."
Mbak Dara menggeleng. Dia menempelkan tisu di sudut mataku, berusaha mencegah air yang hampir gugur ke pipi. "Nggak, Ama. Kamu berkah bagi keluarga kita."
"Aku selalu berdoa agar Mbak Dara juga cepet ketemu sama pasangan hidup. Kalau Mbak Dara berubah pikiran dan mau aku kenalin sama Vice President di Mahardika, kabarin aja, ya," ucapku setengah menggoda. Aku berharap bisa mencairkan suasana. Tapi, Mbak Dara justru menatapku dengan lembut.
"Aku udah selesai sama diri aku sendiri, Ama. Aku udah cukup dengan ngelihat Ibu sama kamu bahagia." Mbak Dara memainkan kotak hadiah pemberianku. Matanya berkaca-kaca. "Bapak udah nggak ada. Ibu dan kamu adalah tanggung jawabku sebagai anak tertua. Aku akan memastikan kalian bahagia, Ama."
"Bukan." Aku menggeleng tegas. "Mbak Dara sama sekali nggak punya kewajiban atas kami. Ibu adalah tanggung jawab moral kita berdua. Mbak nggak harus melakukannya sendirian. Apa Mbak Dara nggak pengin membina rumah tangga?"
"Entahlah." Mbak Dara mengangkat bahu. "Kayak yang aku bilang tadi, Ama. Aku udah selesai dengan diriku sendiri."
Mbak Dara memang jarang membicarakan hal personal denganku. Kami lebih sering mengobrol tentang buku, kopi, dan lagu-lagu. Kebetulan, selera kami sama. Dan aku cukup terkejut mendengarnya. Kukira, selama ini Mbak Dara tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Ternyata, Mbak Dara menyimpan sendiri lukanya. "Mbak Dara trauma?"
"Itu udah berlalu, Ama." Mbak Dara membelai pipiku sembari tersenyum. "Terima kasih untuk hadiahnya."
Energi baik yang Mbak Dara coba berikan, tersalur sempurna lewat senyum manisnya. Usia kami hanya terpaut empat tahun. Tapi, Mbak Dara memang jauh lebih dewasa dari pada aku. Dia selalu berhasil membuatku takjub dengan pola pikir dan kedewasaannya. Mbak Dara bahkan bisa menerima dengan begitu lapang ketika Mas Hadi menyampaikan keinginan untuk segera menikahiku.
Tidak hanya dari sikap. Wajah kami juga amat berbeda. Mbak Dara dengan rambut ikal dan tubuh mungilnya, selalu berhasil membuatku iri. Mbak Dara mewarisi seluruh genetik Bapak. Sementara rambut lurus dan tubuh jenjangku adalah warisan Ibu. Satu-satunya kesamaan yang kami miliki adalah lesung di kedua pipi kami.
"Bukalah, Mbak. Aku yakin Mbak Dara pasti suka."
Perlahan, Mbak Dara membuka kotak berukuran 15x10 yang kuberikan. Dia mengamati isinya selama beberapa saat sebelum akhirnya menutup mulutnya dan memekik kegirangan. "Ama! Gimana kamu bisa dapetin ini? Aku nyari tiketnya udah habis terjual semua, lho."
Dua lembar tiket Simple Plan untuk konsernya di Kota J minggu depan kini sudah dalam genggaman Mbak Dara.