Kota J, Maret 2012 (Tiga bulan setelah pernikahan)
Kepalaku berdenyut hebat. Tempat tidurku terasa bergoyang. Kulirik jam beker di atas nakas. Pukul 07.00 dan aku sadar Mas Hadi sudah tidak ada di atas tempat tidur. Aku bangun kesiangan. Padahal, Mas Hadi sudah bilang jika dia ada meeting penting hari ini.
Tidak ada yang membangunkanku di rumah ini selain Mas Hadi. Dan pagi ini, Mas Hadi membiarkanku tidur sementara dia bersiap sendiri.
Ini adalah bulan kedua kami menempati rumah peninggalan mendiang orang tua Mas Hadi. Rumah yang menurutku terlalu luas untuk ditinggali berdua. Sebulan pertama, kami masih tinggal bersama Ibu dan Mbak Dara.
Seringnya Mas Hadi dinas ke luar kota dan kondisi kesehatan Ibu yang memburuk membuat kami memutuskan untuk tinggal di sana sementara. Begitu kondisi Ibu membaik, Mas Hadi mengajakku pindah ke sini. Kami butuh privasi dan rumah ini juga lebih dekat dengan tempat kerja Mas Hadi.
Awalnya terasa begitu asing. Aku yang biasa bekerja delapan hingga sepuluh jam sehari, merasa sedikit bingung saat harus menghabiskan dua puluh empat jamku dengan berkegiatan di dalam rumah. Untungnya, Mas Hadi selalu berusaha memahamiku. Tak sedikit usahanya untuk membuatku merasa nyaman dengan kegiatan baruku.
Seperti tadi malam. Setelah Mas Hadi pulang kerja, entah kenapa aku sangat ingin memakan sesuatu. Kami berkendara keliling kota tanpa tujuan demi mencari sesuatu yang bisa memuaskan hasrat makanku. Lalu, pilihan kami jatuh pada kedai Martabak Pecenongan 65A—kedai martabak langgananku sejak bekerja di Mahardika Berkarya.
Kami menikmati martabak jamur pesananku. Dan aku bahagia. Momen makan martabak tadi malam berhasil menaikkan mood-ku yang sempat terjun bebas kemarin.
Tapi, kebahagiaan itu tidak lama. Sebab, aku merasa pusing dan mual sejak dini hari tadi. Dan kini aku kesulitan untuk bangkit dari tempat tidur. Aku yakin ini karena intoleranku terhadap olahan jamur.
Ah, sial.
Aku mencium aroma woodsy dan earthy memenuhi kamar, membawa pikiranku kembali dari momen menyenangkan malam tadi. Mas Hadi pasti sudah selesai bersiap dan berangkat tanpa membangunkanku. Bagaimana aku bisa tidur selelap itu?
Susah payah, aku mencoba bangun dari tempat tidur. Mataku terasa sangat berat. Satu langkah, dua langkah, aku berhasil mencapai pintu dengan sedikit goyah. Tapi, kini perutku juga bergejolak. Sesuatu mendesak keluar dari kerongkongan. Kuayunkan langkah cepat, setengah berlari menuju kamar mandi. Setibanya di sana, semua isi perutku keluar. Aku muntah.
Rasanya, aku sudah tidak menyisakan apa pun di dalam perut. Perutku terasa kosong. Tapi, keinginan untuk muntah itu terus datang.
"Mas," ucapku lirih, seolah berharap Mas Hadi mendengarku. Aku butuh obat asam lambung atau apa pun itu yang bisa meredakan rasa mualku. Tapi, sepertinya suaraku bahkan tidak mencapai ruangan sebelah. Lagi pula, Mas Hadi sudah berangkat ke kantor. Sialnya, aku lupa mengambil ponsel sebelum keluar kamar. Ya Tuhan! Aku butuh seseorang saat ini.
Aku terdiam selama beberapa saat. Denyutan di kepala juga belum mereda. Kulipat tubuhku di samping wastafel, mengumpulkan tenaga agar bisa segera bangkit lagi.
"Ama!"
Kudengar seseorang memanggilku dengan panik. Derap langkah kaki terdengar mendekat. Tapi, itu bukan Mas Hadi. Itu adalah suara seorang perempuan yang sangat kukenal. Aku tersenyum. Itu Mbak Dara. Mas Hadi pasti menghubunginya setelah tahu jika aku sakit, sementara dia harus segera berangkat kerja.
"Kamu kenapa?" tanya Mbak Dara sembari membantuku berdiri. "Asam lambung lagi?"
Aku menggeleng. Dengan sedikit goyah, aku berusaha menyejajarkan langkah dengan Mbak Dara. "Sepertinya salah makan, Mbak."
Kami berjalan pelan ke luar kamar mandi menuju ruang makan. Aku bisa mencium kombinasi aroma roti panggang dan selai kacang. Begitu duduk di meja makan, mataku menangkap sebuah catatan kecil tertempel di permukaan meja. Sayang, maaf aku harus berangkat tanpa membangunkanmu. Aku sudah menghubungi Mbak Dara. Segera ke dokter, ya! Maaf karena menu sarapannya cuma ini. Love.
"Kamu pasti bahagia banget ya, Ama," kata Mbak Dara yang muncul dari pintu dapur dengan segelas susu hangat di tangannya. "Mas Hadi buru-buru nelpon tadi pagi. Dia minta aku nganterin kamu ke rumah sakit dulu sebelum berangkat kerja."